Menilik Wacana TNI Polri Menjadi PJ Kepala Daerah
Font: Ukuran: - +
Dosen FISIP USK dan Peneliti Senior Jaringan Survei Inisiatif, Aryos Nivada [Foto: Dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Hajatan Pilkada 2024 akan berlangsung dua tahun lagi. Meski hajatan itu masih lama, dapat dipastikan ujung kendali pemerintahan di sejumlah daerah akan dipegang oleh Penjabat (Pj) Kepala Daerah. Alhasil, Presiden nantinya akan menunjuk pejabat (Pj) kepala daerah yang masa jabatannya habis di tahun 2022 dan 2023.
Berdasarkan penelusuran data yang dilakukan Litbang Dialeksis.com, paska absennya perhelatan Pilkada Serentak 2022 dan 2023, nantinya akan ada 272 daerah dari 548 daerah dipimpin oleh Pj Kepala Daerah.
Pilkada 2022 diikuti 101 daerah yakni 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Sementara pilkada 2023 diikuti 171 daerah ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten.
Berbeda dengan masa jabatan PJ kepala daerah Pilkada 2020, saat itu petahana hanya cuti kurang dari setahun (lebih kurang 71 hari). kekosongan pemimpin lokal definitif ekses ketiadaan pilkada 2022 dan 2023 akan berlangsung cukup lama.
Bagi kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), pelaksanaan Pilkada serentak 2024 yang berbuntut hadirnya ratusan Pj kepala daerah itu sebagai bagian konsistensi dalam menjalankan amanat UU Pilkada.
Konsekuensi dari lamanya Pj Kepala Daerah memangku masa jabatan tersebut diprediksi nantinya Pj akan menghadapi beragam dinamika problematika di tataran lokal. Tidak tertutup kemungkinan kebijakan yang diambil Pj Kepala Daerah berseberangan dengan petahana sebelumnya, ujung ujungnya hal tersebut dikhawatirkan akan memicu instabilitas politik dan keamanan. Hal itu memang riskan, terutama di wilayah paska konflik yang rentan dengan gejolak stabilitas keamanan.
Seperti konteks lokal Aceh misalnya. Untuk konteks provinsi dan sejumlah kabupaten/kota di wilayah Aceh, Pj Kepala daerah akan menduduki masa jabatan panjang, hampir dua tahun lebih.
Lantas mengingat potensi dinamika yang akan dihadapi kedepan, selain wacana untuk mengangkat sekretaris daerah menjadi Pj kepala daerah, timbul ke permukaan kabar bahwa negara sedang mempertimbangkan untuk menunjuk perwira tinggi TNI dan Polri memegang kekuasaan tentatif di daerah. Salah satu faktor pertimbangannya, tak lain karena faktor keamanan dan stabilitas sosial politik lokal. Pj atau Pjs dari unsur TNI/Polri dianggap dapat lebih mudah melakukan kerja - kerja koordinasi pengamanan di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya. Posisi Pj dianggap rentan jika diisi sekda setempat karena dikhawatirkan ada pengerahan Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk memilih kandidat tertentu.
Bolehkah TNI Polri menjadi PJ Kepala Daerah?
Bila merujuk pada Pasal 201 ayat (10) UU Pilkada, kekosongan jabatan gubernur harus diisi dengan Penjabat yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya.
Definisi pimpinan tinggi madya telah disebutkan pada Pasal 19 ayat (1) huruf b UU ASN yaitu: "Sekretaris jenderal kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga non-struktural, direktur jendral, deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri, kepala sekretariat presiden, kepala sekretariat wakil presiden, sekretaris militer presiden, kepala sekretariat dewan pertimbangan presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara."
Meski demikian Dalam UU yang mengatur TNI dan Polri, tak ada ketentuan tegas bagi personel TNI/Polri aktif menjabat sebagai penjabat kepala daerah, baik penjabat gubernur maupun penjabat bupati/walikota.
Tidak tercantum larangan penunjukan penjabat gubernur dari TNI/Polri baik UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada, UU Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Polri, dan Permendagri No. 1 tahun 2018 tentang tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara.
Selain itu aturan yang dijadikan dasar pengangkatan anggota Polri sebagai PJ Gubernur adalah Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2018 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara yang berbunyi “Penjabat gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintah pusat atau pemerintah daerah provinsi”. Kata ‘setingkat’ di sini menimbulkan menimbulkan celah penunjukan TNI Polri sebagai gubernur.
Terlebih Aturan soal bersikap netral dalam UU TNI maupun UU Polri maksudnya bahwa anggota Polri bebas dari pengaruh semua partai politik, golongan, dan dilarang menjadi anggota serta pengurus partai politik. Bukan dilarang menduduki jabatan strategis dalam roda pemerintahan selama tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.
Pj TNI : Perlu Mempertimbangkan Banyak Aspek
Bila menilik sejarah, Penempatan Perwira Polri maupun TNI sebagai Penjabat Gubernur sudah dilakukan sebelumnya, contohnya di Aceh yang dipimpin sementara waktu oleh seorang Mayjen TNI dan di Sulawesi Barat yang dipimpin sementara oleh perwira tinggi Polri.
Kedua wilayah tersebut relatif aman saat pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2017. Ketika itu Sulawesi Barat dipimpin oleh Plt. Gubernur Irjen Pol. Carlo Tewu dan di Aceh yang dipimpin oleh Plt. Gubernur Mayjen TNI Soedarmo.
Meski demikian yang perlu diperhatikan, sebelum negara menunjuk TNI Polri sebagai PJ atau Plt kepala daerah, pemerintah perlu mempertimbangkan beragam aspek dan faktor.
Selain pemerintah perlu menjelaskan secara komprehensif untuk bahwa kebijakan yang diambil tersebut telah sesuai atau belum sesuai dengan peraturan perundang- undangan, yang tak kalah penting adalah pemerintah perlu menjamin netralitas TNI Polri yang ditunjuk.
Pj atau Plt kepala daerah yang ditunjuk dari perwira tinggi TNI dan Polri harus bebas dari muatan politik kepentingan kelompok maupun golongan tertentu.
Juga jangan asal menempatkan tanpa mempertimbangkan faktor kompetensi. Terutama kompetensi dalam mengendalikan atau mengontrol stabilitas politik dan keamanan.
Perlu dipertimbangkan aspek pengalaman dan kepemimpinan seseorang serta dapat berkoordinasi dengan acara Forum Komunikasi antar Pimpinan Daerah.
Jangan sampai munculnya tindakan radikalisme dan gangguan stabilitas keamanan oleh aktor politik yang tidak bertanggung jawab. Pada akhirnya justru Pj kepala daerah yang kemudian disetir oleh aktor politik lokal.
Hal lain yang perlu dicatat, Pj kepala daerah ditunjuk harus memiliki kemampuan komunikatif dan humanis. Dimana hal itu dapat memberikan kontribusi besar bagi arah jalannya roda birokrasi kedepan. Dengan demikian diharapkan kebijakan tersebut mampu menjamin Pemilihan Kepala Daerah berlangsung dengan bersih dari intervensi dan tindakan yang tidak benar.
Publik tentu tak menginginkan bila penunjukan Pejabat TNI dan Polri sebagai Pj kepala daerah justru kemudian berbuah petaka, alih - alih mengendalikan stabilitas keamanan dan sosial politik, justru kemudian jadi ajang potensi pemanfaatan alat negara sebagai instrument pemaksa bagi perwujudan kebijakan-kebijakan politik pemerintah.
Alternatif Pilihan
Tidak menutup peluang jika pensiunan TNI atau Polri dipercaya untuk menduduki posisi sebagai PJ, namun konsekuensinya harus dibuat aturan khusus, apakah berupa PP atau Kepres maupun di revisi UU Pemilu itu sendiri.
Mengapa penting dipertimbangkan pensiunan TNI Polri menjabat sebagai PJ atau Plt kepala daerah. Logika sederhananya agar unsur politis tidak terlalu dominan sekaligus muatan kepentingan tidak terlalu mempengaruhi situasional jika memimpin di pemerintahan selaku PJ nantinya.
Selain itu meredam imej atau label negatif dimata masyarakat Indonesia jika di pimpin dari kalangan TNI Polri yang masih aktif. Itu pun jikalau pemerintah mau membahas ide wacana ini di pemerintahan sebelum memutuskan kebijakan yang final dalam penempatan PJ di berbagai provinsi di Indonesia.
Wacana ini perlu dipertimbangkan oleh para pihak (stakeholder) maupun elit politik yang sedang berkuasa. Dibutuhkan pengkajian komperhensif dan mendalam terkait wacana itu, sehingga keputusan yang diambil dan dijalankan benar-benar sangat tepat dan sesuai dengan kondisi di pemerintahan, ketika masa transisi berlangsung.
Siapa pun PJ apakah dari TNI Polri aktif maupun non aktif, sekali lagi diperlukan pelibatan semua pihak baik internal pemerintahan maupun eksternal pemerintahan dalam membahas pelibatan mereka. Sehingga keputusan diambil benar-benar matang dan sesuai harapan masyarakat Indonesia. [Aryos Nivada]