kip lhok
Beranda / Analisis / Menelisik Representasi Politik Perempuan di Parlemen Aceh

Menelisik Representasi Politik Perempuan di Parlemen Aceh

Minggu, 24 Juli 2022 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Foto: Ist


DIALEKSIS.COM | Analisis - Dalam catatan sejarah demorkasi Indonesia, munculnya wacana mendorong kebijakan afirmasi dalam rangka mendorong keterwakilan perempuan dalam politik pertama kali dicetuskan jelang pemilu tahun 2004. Hal ini ditandai dengan dimasukkannya ketentuan mengenai pencalonan perempuan sebanyak 30% dari daftar calon anggota legislatif (caleg) tiap partai dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum (UU No.12/2003).

Kemudian, menjelang Pemilu 2009, kebijakan afirmasi diperkuat dengan adanya ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU No.2/2008) mengenai jumlah minimal 30% perempuan dalam kepengurusan. Kebijakan afirmasi dalam UU Pemilu juga semakin diperkuat selain harus memenuhi ketentuan jumlah 30% perempuan dalam daftar calon, penempatan caleg perempuan juga diatur dengan ketentuan dalam tiga nama calon terdapat satu nama perempuan (UU No.10/2008).

Dalam UU Pemilu terbaru, Berdasarkan Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan bahwa bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota yang ditetapkan oleh pengurus partai politik peserta pemilu tingkat kabupaten/kota memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30%

Dalam konteks nasional pemberlakuan ketentuan jumlah 30% perempuan dalam daftar calon mempengaruhi representasi perempuan di parlemen. tampak jelas adalah tren peningkatan keterwakilan perempuan di badan legislatif. Jika pada pemilu tahun 1999 hanya ada sembilan persen perempuan di badan legislatif, pada pemilu tahun 2004 naik menjadi 11,8 persen. Namun jika pada pemilu tahun 2009 melonjak hingga 17,86 persen, pada pemilu 2014 angkanya agak turun di 17,32 persen, dan baru naik stabil kembali pada pemilu 2019 yaitu di 20,52 persen. Meski demikian Tetap belum mencapai kuota 30 persen yang didorong lewat berbagai undang-undang.

Secara nasional, kebijakan afirmatif dalam partai politik memang baru diterapkan setelah UU.No.2/2008 disahkan. Namun, dalam tataran lokal, kebijakan afirmatif dalam partai politik telah digagas dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh tahun 2006 (UU.No.11/2006) yang dilanjutkan dengan Peraturan Daerah (Qanun) tentang partai politik lokal di Aceh tahun 2008.

Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) semakin dikukuhkan dengan disahkannya Qanun Aceh No.3/2008 tentang Partai Politik Lokal Peserta Pemilu Anggota DPRA dan DPRK. Dalam qanun tersebut diatur kepengurusan partai politik lokal maupun pencalonan anggota legislatif harus memperhatikan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan dan ketentuan itu menjadi salah satu syarat pendaftaran partai politik lokal sebagai sebagai peserta pemilu .

Kondisi keterwakilan perempuan di DPR Aceh (DPRA) mengalami kondisi fluktuatif, cenderung stagnan pada awalnya namun menunjukan sedikit tren peningkatan namun kemudian terjadi lagi penurunan keterwalikan perempuan pada pemilu terakhir.

Pada Pemilu 2004-2009 berjumlah 4 orang perempuan atau sekitar 5,8% dari total 69 anggota DPRA Provinsi Aceh.

Kemudian, pada periode 2009-2014 jumlah perempuan yang terpilih untuk kursi DPRA Provinsi Aceh masih tetap stagnan yakni hanya berjumlah 4 orang atau sekitar 5,8%.

Sedangkan pada pemilu periode 2014-2019 keterwakilan perempuan meningkat dari dua tahun sebelumnya sebesar 14,81%. Hasil pemilu menambah keterwakilan perempuan menjadi 12 orang yang terdiri dari: Darwati A.Gani (PNA), Nurlelawati (Golkar), Kartini Ibrahim (Gerindra), Ummi Kalsum (PA), Fauziah, HM.Daud (Golkar), Ismaniar (PAN), Nuraini Maida (Golkar), Hj. Fatimah (NasDem), Hj. Yuniar (Golkar), Siti Mahziah (PA), Liswani (PAN), dan Dra. Mariati (PA).

Namun pada Pemilu 2019, Jumlah perempuan terpilih menurun menjadi terpilih sembilan perempuan dari 81 kursi atau tingkat keterwakilan hanya 11 persen. Ke sembilan perempuan yang terpilih di DPRA antara lain : Nora Idah Nita (Demokrat), Hj. Asmidar (Partai Aceh), HJ. Sartina NA (Golkar), Martini (Partai Aceh), Kartini Ibrahim (Gerindra), Nuraini Maida (Golkar), Hj. Nurlelawati (Golkar), Darwati A Gani (Partai Nanggroe Aceh) dan Suryani (PKS).

Untuk tingkat Kabupaten/kota di Aceh, keterwakilan perempuan terbanyak di lembaga legislatif seluruh Aceh periode 2019-2024 ada di DPRK Aceh Tamiang. Dari 30 kursi DPRK Aceh Tamiang, 11 di antaranya diraih perempuan.

Wilayah yang paling sedikit representasi perempuan di Aceh pada Pemilu 2019 masing masing terdiri dari :

• DPRK Gayo Lues dan DPRK Aceh Jaya masing-masing satu dari 20 kursi atau tingkat keterwakilan perempuan hanya lima persen.

• Kemudian DPRK Aceh Barat Daya, DPRK Pidie Jaya, dan DPRK Bener Meriah, masing-masing satu kursi dari 25 kursi atau tingkat keterwakilan perempuan empat persen.

• Lalu ada DPRK Aceh Besar dari 35 kursi, hanya satu kursi perempuan atau 2,85 persen. Terakhir, DPRK Aceh Utara dari 45 kursi, hanya satu kursi diraih perempuan atau tingkat keterwakilan hanya 2,2 persen

Adapun rincian representasi perempuan di kabupaten kota lain di Aceh pada Pemilu 2019, yaitu sebagai berikut :

• DPRK Pidie ada tujuh perempuan dari 40 kursi atau 17,5 persen tingkat keterwakilan perempuan.

• Berikutnya , DPRK Sabang dari 20 kursi, lima di antaranya perempuan atau tingkat keterwakilan 25 persen. DPRK Simeulue terpilih empat perempuan dari 20 kursi atau 20 persen.

• DPRK Langsa diraih empat perempuan dari 25 kursi atau 16 persen. DPRK Nagan Raya, empat kursi diraih perempuan dari 25 kursi atau 16 persen.

• DPRK Lhokseumawe juga terpilih empat perempuan dari 25 kursi atau 16 persen. DPRK Subulussalam dengan tiga kursi perempuan dari 20 kursi atau 15 persen.

• DPRK Aceh Tengah dan DPKR Banda Aceh masing-masing empat kursi perempuan dari 30 kursi atau tingkat keterampilan sebesar 13 persen.

• DPRK Aceh Singkil tiga perempuan dari 25 kursi atau 12 persen. DPRK Aceh Tenggara tiga kursi perempuan dari 30 kursi atau 10 persen.

• DPRK Aceh Selatan tiga kursi dari 30 kursi atau 10 persen keterwakilan perempuan.

• DPRK Aceh Barat dua kursi dari 25 kursi atau 8 persen keterwakilan perempuan.

• Terakhir DPRK Bireuen dan DPRK Aceh Timur masing-masing tiga kursi dari 40 kursi atau tingkat keterwakilan 7,5 persen.

Penulis: Aryos Nivada (Dosen Ilmu Politik, FISIP USK)
Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda