Agensi Ulama dalam Politik Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Aryos Nivada
Aryos Nivada, Pendiri Jaringan Survei Inisiatif dan Sindikasi Grup. [Foto: dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Analisis - Pilkada serentak tahun 2024 telah selesai dilaksanakan, termasuk di Aceh. Pemilihan 23 Calon Bupati/Wakil Bupati dan Calon Walikota/Wakil Walikota serta Calon Gubernur/Wakil Gubernur di Aceh relatif berlangsung aman, damai dan tertib.
Dalam fakta dilapangan terdapat beberapa insiden yang terjadi, namun tidak sampai mengganggu proses pelaksanaan Pilkada, baik sewaktu masa kampanye, pemilihan maupun saat proses perhitungan surat suara. Insiden-insiden yang terjadi dipandang bagian dari dinamika politik paska damai.
Menurut Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2024 tentang Tata Cara Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur pada Pasal 22 A, Ayat (1) menyebutkan, Pelantikan Gubernur & Wakil Gubernur hasil pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak tahun 2024 dilaksanakan secara serentak pada tanggal 7 Februari 2025. Atau, bisa saja dipercepat dalam format pelantikan serentak secara bertahap sejak Januari 2025 khususnya untuk daerah yang tidak ada perselisihan yang mengharuskan adanya gugatan di Mahkamah Konstitusi.
Jika mengikuti jadwal yang sudah ditetapkan maka tidak sampai 2 bulan lagi Aceh sudah memiliki Gubernur dan Wakil Gubernur baru.
Politik Ulama
Namun ada catatan tersendiri jika melihat proses Pilkada Gubernur Aceh yang menarik untuk kita cermati yaitu pesta politik yang menggandeng ulama sebagai pendulang suara pasangan calon Pilkada. Hal tersebut memang telah lama terjadi jika melihat sejarah Pilkada Aceh. Namun Pilkada 2024 ini fakta ulama terlibat langsung dalam politik praktis adalah nyata adanya.
Keterlibatan Ulama dalam penyelenggaraan Pilkada ini tidak hanya disebabkan kelebihan atau kemampuan (keilmuan) yang ia miliki, namun juga dianggap berhasil mengatur kepatuhan pengikutnya (Kharismatik).
Oleh sebab itu, pasangan calon berlomba-lomba datang (sowan) ke ulama bahkan ada yang mengambil wakilnya dari kalangan Ulama. Seolah ingin memperlihatkan ke masyarakat bahwa segala sesuatu nanti saat terpilih dan memimpin akan berlandaskan agama.
Dalam masyarakat kita, "agensi ulama" tidak hanya terjadi pada tingkatan Pilkada saja. Namun saat Pilpres pun hal itu berlaku, kita masih ingat tahun 2019 Jokowi berpasangan dengan KH Ma'ruf Amin, Ketua MUI dan juga Petinggi NU tulen. Yang mana anggota nya merupakan penganut Ahlul Sunnah wal jamaah dan mayoritas Islam tradisional, sebuah paham yang dominan di Indonesia.
Pengaruh politik ulama paling mencuat adalah ketika kasus Ahok yang dikampanyekan menista surat Al-Maidah. KH Ma'ruf Amin berada digarda terdepan memimpin protes terhadap klaim penistaan tersebut.
Di Aceh, agensi ulama dalam politik juga telah lama berlangsung dengan berbagai fase. Saat konflik Aceh, Ulama menempatkan diri sebagai sebuah gerakan. Usai damai Aceh, ulama bertransformasi langsung sebagai aktor politik dengan mendirikan Partai, antara lain Partai PDA, Partai GABTHAT dan kemudian lahir Partai PAS yang juga dimotori Ulama.
Dalam tatanan dukungan politik ada beberapa nama besar Ulama Kharismatik yang menyatakan dukungannya secara terbuka seperti Abu Mudi yang memiliki jaringan para alumni Al-Aziziyah, Abu Paya Pasi yang memiliki cabang dayah Bustanul Huda di Kabupaten dan Kota di Aceh, Abu Kuta Krueng yang memiliki jaringan IRADAH, Allahuyarham Abu Tumin dengan jaringan alumni Al-Madinatuddiniyah Blang Bladeh dan pernah menjadi pendukung utama Irwandi-Nova (2017) dan berhasil memenangkan Pilkada.
Dayah lainnya yang memiliki jaringan luas yaitu Dayah Darussalam Labuhan Haji, saat ini dipimpin oleh Abuya Mawardi Waly yang juga menjabat sebagai Ketua Majelis Mustasyar Partai PAS Aceh. Sebagian besar Alumni Dayah Tanoh Mirah pada Pileg 2024 terafiliasi ke Partai PAS Aceh, namun saat Pilkada mereka mendukung Pasangan Mualem-Dek Fadh, berbeda dengan dukungan Partai PAS.
Dalam kancah Politik Aceh, ada beberapa figur dayah yang terlibat langsung seperti Abi Lampisang, Tu Bulqaini dan Allahuyarham Tu Sop Djeunib. Untuk nama terakhir merupakan Calon Wakil Gubernur pada Pilkada 2024 yang lalu. Namun takdir berkehendak lain, Tu Sop dipanggil oleh yang Maha Kuasa tepat setelah cek kesehatan untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur.
Namun, kegagalan menggantikan sosok Tu Sop dari kalangan dayah murni, untuk mendampingi Om Bus, menunjukkan lemahnya daya tawar ulama. Boleh dikatakan belum ada figur dayah yang sekaliber Tu Sop dalam kancah politik di Aceh. Maka kemudian Om Bus berlabuh pilihan ke Syeikh Fadhil yang diasosiasi sebagai alumni Mesir.
Sebagian besar kalangan dayah di Aceh tidak seirama dengan lulusan Timur Tengah, sehingga keterpilihan Syeikh Fadhil dianggap bukan mewakili kalangan Dayah. Walaupun Abu Mudi berulang kali mengatakan di berbagai kesempatan bahwa Syeikh Fadil merupakan murid dari murid saya.
Kekalahan Paslon 01 Om Bus dan Syeikh Fadhil jelas memperlihatkan sisi disfungsi agensi Ulama. Artinya, masyarakat kita masih membeda-bedakan dan memisahkan antara yang mengelola Pemerintahan dan yang mengurus agama. Padahal, Allahuyarham Tu Sop selalu menyampaikan dalam dakwah nya bahwa dalam dunia Politik, “Jika agama tidak hadir memperbaiki politik, maka politik akan menjadi fitnah besar bagi agama dan masa depan bangsa”.
Disfungsi agensi Ulama itu justru tidak terjadi di kubu yang mendukung Mualem - Dek Fadh. Keberadaan Ulama justru ikut berkontribusi bagi pemenangan Paslon 02, khususnya di wilayah yang dikenal ABAS dan ALA, kecuali Bener Meriah. Pengaruh ulama sufi Abuya Amran Waly al-Khalid jelas ikut memberi kontribusi nyata. Begitu juga dengan pengaruh Tgk. H. Muhammad Ali (Abu Paya Pasi).
Dengan kata lain, adanya disfungsi agensi ulama lebih karena Bustami Hamzah dilihat sebagai sosok yang mewakili politik kekuasaan, apalagi Abu Mudi sebagai pendukung Bustami juga berada di Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), yang dengan mudah dilihat korelasi kepentingan. Sedangkan Mualem dilihat sebagai sosok yang mewakili politik kerakyatan atau yang populer disebut politik keacehan alias Aceh Interest. Di sini, dukungan ulama sebagaimana sejarahnya dipersepsikan semata untuk kepentingan nasional Aceh.
Dalam konteks Aceh Interest jelas keberadaan agensi ulama semakin meneguhkan bahwa ulama menjadi salah satu aktor strongman yang dapat mempengaruhi peta politik lokal d Aceh, termasuk secara menyeluruh di Indonesia. Karena landscap politik Indonesia sangat dipengaruh eksistensi ulama di arena politik kekuasaan.
Namun, jika tidak hati-hati apalagi berlebihan maka secara esensi nilai kewibawaan dan pengaruh karismatiknya dapat luntur dikarenakan image publik menyatakan seharusnya ulama berada pada zona penguatan dan penyadaran perilaku masyarakat agar sejalan dengan ajaran agama Islam. Tetapi malahan sebaliknya ulama ditarik elit politik menjadi bagian penting dari sebuah misi kekuasaan di pemerintahan.
Oleh sebab itu, dalam 5 tahun ini, para ulama harus menambah jam terbang dan materi dakwah untuk menyampaikan kembali kepada masyarakat bahwa kehadiran ulama dalam politik praktis bukanlah sesuatu yang dilarang dalam agama. Justru ulama hadir untuk memperbaiki politik itu sendiri.
Dan, yang harus diakui GAM masih terlalu kuat, yang secara sosio-kultural terus menjaga kedekatan dengan kalangan ulama dayah. Kedekatan yang ikut dirawat dengan politik bantuan untuk sarana dan prasarana dayah oleh Partai Aceh di DPRA, tempat bernaungnya para eks kombatan GAM plus menjaga narasi kepentingan nasional Aceh. [**]
Penulis: Aryos Nivada (Pendiri Jaringan Survei Inisiatif dan Sindikasi Grup)