Minggu, 26 Oktober 2025
Beranda / Analisis / KPU, Private Jet dan Persoalan Akuntabilitas Publik

KPU, Private Jet dan Persoalan Akuntabilitas Publik

Sabtu, 25 Oktober 2025 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Firdaus Mirza Nusuary

Ilustrasi private jet yang digunakan rombongan KPU RI selama proses Pemilu 2024 menelan anggaran Rp49 miliar. Foto: iStockphoto/Timurpix


DIALEKSIS.COM | Analisis - Kasus penyewaan private jet oleh pimpinan Komisi Pemilihan Umum (KPU) selama penyelenggaraan Pemilu 2024 telah berubah dari isu administratif menjadi soal etika dan politik publik. 

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menilai ada pelanggaran kode etik dan menjatuhkan sanksi berupa peringatan keras kepada Ketua, beberapa komisioner, dan Sekretaris Jenderal KPU sebuah keputusan yang menandai babak baru dalam kontroversi yang semula dipresentasikan KPU sebagai kebutuhan operasional.

Di balik headline dan klaim teknis, ada jaringan keputusan pengadaan, angka-angka anggaran, dan pilihan manajemen risiko yang layak ditelaah memunculkan pertanyaan kritis apakah keputusan penyewaan jet pribadi memang didasarkan pada kebutuhan teknis nyata, ataukah ia cerminan tata kelola yang rapuh dan selentingan gaya hidup pejabat publik?

Isu mencuat ketika lembaga-lembaga masyarakat sipil antikorupsi termasuk Transparency International Indonesia, Themis Indonesia, dan Trend Asia melaporkan dugaan penyalahgunaan pengadaan dan penggunaan fasilitas terkait sewa private jet oleh KPU pada tahun anggaran 2024. Laporan itu tidak hanya menyorot penggunaan jet pada rute yang dinilai tidak prioritas, tetapi juga soal proses pengadaan yang dianggap bermasalah sejak perencanaan. Laporan koalisi tersebut dilayangkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan DKPP.

KPU merespons dengan menegaskan bahwa keputusan penyewaan merupakan langkah operasional dalam situasi “luar biasa”, dengan alasan mempercepat pendistribusian logistik dan mobilitas lintas provinsi dalam waktu singkat sebuah argumen yang berulang selama tahap klarifikasi publik. Instansi itu juga menyebutkan nilai kontrak sewa yang berbeda-beda dalam penjelasan awal; salah satu angka yang muncul dari keterangan KPU adalah Rp46 miliar untuk kontrak yang disebut perlu untuk operasional tertentu.

Namun keberatan publik tidak hanya soal jumlah. Laporan masyarakat sipil menyoroti kejanggalan prosedur mulai dari dokumen rencana yang sangat sederhana, pagu yang dilampaui, dan indikasi keputusan yang dilakukan tanpa transparansi memadai point - point yang kemudian menjadi pijakan untuk meminta audit dan pemeriksaan lebih lanjut.

Bukti, angka, dan konflik data

Salah satu hal yang membuat masalah ini berputar adalah ketidakselarasan angka dan interpretasi publik: KPU pada gilirannya menegaskan angka tertentu, sedangkan temuan lembaga pengawas dan DKPP memunculkan angka dan temuan lain yang saling bertaut. Selain angka yang disebutkan KPU (sekitar Rp46 miliar), DKPP dalam putusannya mengungkapkan angka dan temuan tambahan yang menimbulkan pertanyaan lebih serius terkait alur pengadaan dan penggunaan, yang menurut media merujuk pada nilai kontrak yang bisa mencapai angka lebih tinggi dalam penelusuran dokumen. Hal ini memperlihatkan problem klasik tata kelola publik: data yang tidak konsisten mempersulit akuntabilitas.

Kondisi ini memunculkan tuntutan berlapis mulai dari hasil laporan ke KPK untuk dugaan penyalahgunaan anggaran, permintaan audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta pengaduan etik yang diproses DKPP. Koalisi masyarakat sipil bahkan meminta sanksi tegas hingga pemecatan bagi komisioner yang dianggap terlibat.

Respons lembaga pengawas

Keputusan DKPP yang menjatuhkan peringatan keras menandai langkah etik pertama yang nyata. DKPP menegaskan bahwa gaya hidup mewah dan penggunaan fasilitas yang tidak sesuai rencana adalah pelanggaran norma penyelenggara pemilu, sehingga sikap etik menjadi fokus utama selain aspek administratif. Putusan ini membuka jalan bagi serangkaian pemeriksaan lain yang kini berada di ruang publik.

Di level penegakan hukum, KPK menyatakan akan mempelajari laporan itu sebuah tanda bahwa kemungkinan ranah pidana tak bisa dikesampingkan, bergantung pada hasil verifikasi dan bukti transaksi. Pada saat yang sama, BPK didesak untuk melakukan audit investigatif atas pengadaan dan penggunaan fasilitas dimaksud, langkah yang diperlukan untuk menggali apakah ada kerugian negara atau penyimpangan prosedural.

Politik pengawasan pun memasuki arena terlihat reaksi dari Komisi II DPR RI yang menyatakan akan memanggil KPU untuk meminta penjelasan menyeluruh, sementara beberapa pihak menuntut evaluasi menyeluruh terhadap kinerja KPU pasca Pemilu. Desakan ini menempatkan isu yang semula teknis menjadi bahan debat publik tentang legitimasi institusi penyelenggara.

Argumen KPU tentang kebutuhan teknis misalnya keterbatasan rute penerbangan komersial, keharusan mobilitas cepat antar-provinsi, dan urgensi pendistribusian logistik secara teknis bisa dimengerti. Namun argumen teknis tidak otomatis menutup kebutuhan pada prosedur pengadaan yang transparan dan rasional, di mana publik berhak mengetahui dasar pertimbangan pemilihan vendor, harga pasar, alternatif yang dipertimbangkan, serta dokumentasi yang mendasari keputusan darurat. Ketika publik melihat ketidakkonsistenan angka dan dokumen yang sederhana, rasa curiga muncul bukan semata karena gaya hidup pejabat, tetapi karena potensi implikasi pemborosan dan korupsi.

Selain itu, penggunaan fasilitas mahal oleh pejabat publik menimbulkan pertanyaan etis yang lebih luas di masyarakat Indonesia, sejauh mana penyelenggara pemilu harus tampil hemat dan menjadi teladan pengelolaan anggaran negara, terutama ketika publik mencermati disparitas antara pengeluaran elit dan kebutuhan pelayanan publik di daerah? Isu ini bukan hanya soal hukum, tetapi soal legitimasi moral institusi yang menuntut kepercayaan publik.

Dari perspektif sosiologi politik

Kasus private jet KPU perlu dibaca bukan hanya sebagai rangkaian kelalaian administratif, tetapi juga sebagai manifestasi hubungan kuasa, simbol status, dan kelemahan struktur kelembagaan. Pertama, private jet berfungsi ganda yakni menjadi alat mobilitas teknis sekaligus simbol prestise. Dalam birokrasi yang berlapis dan sarat relasi jaringan, penggunaan fasilitas mewah oleh pejabat publik seringkali memperkuat posisi sosial dan jaringan akses suatu dinamika yang mudah berujung pada normalisasi perilaku yang menyamakan kepentingan pribadi atau kelompok elit dengan kepentingan institusi.

Kedua, ada jurang antara akuntabilitas formal (dokumen, prosedur, mekanisme) dan akuntabilitas sosial (legitimasi publik, persepsi moral). Meski suatu tindakan bisa diklaim berdasar kebutuhan operasional, kegagalan menyediakan data yang konsisten dan komunikasi yang meyakinkan menciptakan defisit legitimasi. Dalam situasi seperti ini, masyarakat tidak hanya menuntut bukti administratif, tetapi juga penjelasan moral mengapa penggunaan fasilitas mahal dapat dibenarkan ketika standar transparansi dan rasionalisasi tidak tampak?

Ketiga, fenomena ini mengindikasikan risiko elite capture dan lemahnya kontrol internal. Pengadaan yang berlangsung dalam ruang terbatas berpotensi membuka celah bagi penunjukan berbasis jaringan bukan semata kompetensi atau efisiensi pasar. Norma budaya birokrasi yang toleran terhadap gaya hidup elit akan memperkuat pola ini kecuali ada mekanisme sanksi yang jelas dan terapkan secara konsisten.

Keempat, dimensi political culture penting difahami bahwa persepsi publik terhadap moral pejabat memengaruhi legitimasi kelembagaan. Bila masyarakat melihat adanya jarak mencolok antara gaya hidup pejabat dan kondisi publik, kepercayaan terhadap proses dan hasil pemilu bisa terkikis. Dalam perspektif sosiologis, reputasi institusi bergantung pada praktik sehari-hari yang membentuk norma kolektif bukan sekadar klaim formal di atas kertas.

Oleh karena itu, selain tindakan hukum dan audit, perubahan yang bersifat struktural dan normatif diperlukan restrukturisasi insentif kelembagaan agar penggunaan fasilitas negara memiliki mekanisme pembenaran yang ketat, serta budaya kelembagaan yang menekankan teladan, rotasi jabatan, dan sanksi etik yang jelas. Tanpa pembenahan pada level norma dan struktur, tindakan administratif semata berisiko hanya menunda reproduksi pola yang sama.

Jalan ke depan

Kasus ini menyisakan beberapa tuntutan konkret yang sudah muncul di ruang publik dan perlu ditindaklanjuti secara serius.

Dibutuhkan audit investigatif dari pihak eksternal seperti BPK untuk memastikan apakah ada kerugian negara dan sejauh mana prosedur pengadaan telah dipenuhi. Permintaan audit ini sudah dilayangkan oleh koalisi masyarakat sipil. Selain itu peran aktif dituntut publik melalui mekanisme penyelidikan KPK terhadap aspek dugaan pidana bila ditemukan bukti transaksi yang tidak sesuai aturan.

Terpenting penyelenggara yakni KPU harus berani membuka dokumen pengadaan kepada publik bagian dari transparansi dan akuntabilitas. Karena itu bukan dokumen berstatus rahasia, dimana publik berhak melihat perencanaan, kriteria penunjukan penyedia, dan pembanding harga (benchmarking) agar keputusan yang diambil tidak sekadar klaim efisiensi semata. Hal lain yang perlu ditindaklanjuti yaitu penguatan mekanisme etik dan pengawasan di institusi penyelenggara pemilu agar persoalan gaya hidup dan penggunaan fasilitas negara mendapat pemantauan preventif.

Isu private jet KPU bukan sekadar perdebatan tentang satu pengadaan mahal. Ia cermin dari kerentanan tata kelola publik ketika keputusan teknis tidak dibingkai oleh prosedur yang kuat dan komunikasi publik yang memadai. DKPP telah mengambil langkah etis; kini tugas berikutnya berada pada lembaga audit dan penegak hukum untuk mengurai fakta finansial dan prosedural secara tuntas. Publik yang membiayai penyelenggaraan pemilu melalui anggaran negara berhak atas jawaban yang lengkap, bukti yang jelas, dan jaminan bahwa pengelolaan institusi penyelenggara pemilu tidak mengabaikan prinsip dasar akuntabilitas.

Jika KPU ingin merebut kembali kepercayaan publik, langkah pertama bukan sekadar pembelaan administratif, melainkan membuka semua catatan pengadaan, menerima audit independen, dan menata ulang pedoman penggunaan fasilitas negara agar insiden serupa tidak terulang. Tanpa langkah-langkah itu, narasi “kebutuhan teknis” akan tetap terbentur pada kecurigaan publik tentang transparansi dan integritas.

Penulis: Firdaus Mirza Nusuary, Dosen Sosiologi Universitas Syiah Kuala (USK)

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI