Analisis Hukum Hasil Seleksi Sekretaris KPU/KIP Kabupaten/Kota Tahun 2021
Font: Ukuran: - +
Pengamat Politik dan Pemerintahan sekaligus Peneliti Jaringan Survei Inisiatif (JSI) dan Alumni Magister Ilmu Politik dan Pemerintah UGM, Farnanda M.A. [Foto: Dialeksis.com]
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia baru saja mengumumkan 3 (tiga) besar nama-nama Sekretaris KPU/KIP Kabupaten Kota diseluruh Indonesia. Nama nama tersebut tertuang dalam pengumuman Nomor: 04/Set-Tuk-JS/SetjenKPU/IX/2021 Tanggal 10 September 2021 tentang Hasil Pelaksanaan Seleksi Terbatas Pengisian Jabatan Sekretaris Komisi Pemilihan Umum/Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota Tahun 2021.
Timbul polemik ke publik terkait nama nama yang lolos tersebut. Polemik timbul karena terdapat sejumlah pegawai non organik KPU yang lolos seleksi administrasi dan masuk dalam kandidat tiga besar Sekretaris KPU/KIP Kab/Kota. Padahal KPU memiliki peraturan terkait seleksi administrasi pengangkatan pejabat, dimana disebutkan persyaratan utama menduduki jabatan di KPU haruslah pegawai organik KPU. Lantas bagaimana pandangan hukum terkait hal tersebut?
Persyaratan Menduduki Jabatan Tinggi Pratama, Adminstrator, Pengawas di KPU
Regulasi pengangkatan pejabat KPU diatur melalui Keputusan Sekretaris Jenderal Komisi Pemilihan Umum Nomor 366/SDM.05.5-Kpt/05/IV/2021 tentang Penggangkatan Dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama, Jabatan Administrator, Dan Jabatan Pengawas Pada Sekretariat Komisi Pemilihan Umum Provinsi Dan Sekretariat Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota.
Dalam lampiran I Huruf D, poin Pengisian Jabatan Administrator. Angka 3 ayat (3) disebutkan persyaratan Calon Sekretaris KPU Kabupaten/Kota. Berikut persyaratan Calon Sekretaris KPU Kabupaten/Kota :
a) Persyaratan :
1) Berstatus sebagai PNS organik KPU
2) Memiliki pangkat/golongan ruang paling kurang Penata Tingkat I (III/d)
3) Memiliki kualifikasi dan tingkat pendidikan paling rendah Sarjana atau Diploma IV
4) Memiliki integritas dan moralitas yang baik
5) sedang atau pernah menduduki
a. Jabatan Pengawas (Eselon IV) paling singkat 3 (tiga) tahun; atau
b. Jabatan Fungsional ahli muda yang setingkat dengan jabatan Pengawas
6) Berusia paling tinggi 55 tahun
7) setiap unsur penilaian prestasi kerja paling rendah bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir
8) memiliki kompetensi teknis, kompetensi manajerial dan kompetensi sosio kultural sesuai standar kompetensi sehat jasmani dan rohani
9) tidak pernah atau tidak sedang menjalani hukuman disiplin tingkat sedang atau berat dan tidak sedang dalam proses peradilan pidana
10) tidak pernah mendapat sanksi pelanggaraan kode etik penyelenggara pemilu berupa peringatan keras/keras terakhir atau pemberhentian sementara/tetap dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP);dan
11) tidak memiliki hubungan keluarga (suami/istri, orangtua/anak) dengan Ketua/Anggota KPU Kabupaten/Kota dan Pejabat Sekretariat KPU Kabupaten/Kota (satuan kerja yang sama).
Berdasarkan peraturan sekjen KPU diatas, terlihat jelas bahwa persyaratan prioritas pertama untuk menduduki jabatan di KPU adalah PNS organik KPU. Namun persyaratan tersebut apat dikecualikan apadbila terdapat keadaan tertentu. Dalam huruf b disebutkan :
"Dalam keadaan tertentu, persyaratan berstatus sebagai PNS Organik KPU sebagaimana dimaksud dalam huruf a) angka (1) dan kualifikasi pendidikan sebagaimana dimaksud dalam huruf a) angka (3) dapat dikecualikan dan dipertimbangkan lain sesuai kebijakan Sekretaris Jenderal KPU. "
Aturan diatas menegaskan, bahwa boleh boleh saja jabatan di KPU di isi oleh PNS lain diluar KPU (non organik), namun harus dalam posisi keadaan tertentu sehingga mendapatkan pertimbangan lain sesuai kebijakan Sekjen KPU. Problemnya adalah, apa yang dimaksud dengan keadaan tertentu tersebut? Dalam Keputusan Sekjen KPU tersebut tidak diuraikan secara mendetail apa yang dimaksud "keadaan tertentu" .
Tidak adanya batasan keadaan tertentu tersebut dapat memunculkan tafsir beragam. Dari konstruksi pasal, ketidakjelasaan keadaan tertentu tersebut diserahkan sepenuhnya pada pertimbangan sekjen KPU. Hal ini berpotensi memberikan keleluasaan sangat besar bagi sekjen KPU untuk memberikan tafsir terhadap keadaan tertentu tersebut.
Keberadaan pasal ini memberikan otoritas untuk sekjen melabrak aturan yang ditetapkan oleh Sekjen sendiri. Artinya Sekjen KPU dapat saja menganulir persyaratan PNS organik bahkan hingga kualifikasi pendidikan. Padahal hal tersebut merupakan persoalan krusial bagi persyaratan menduduki posisi strategis di KPU.
Bayangkan dalam kasus tertentu, sekjen dapat saja mengangkat PNS yang bukan dari organik KPU dan pendidikan rendah semisal tamatan SMA, SMP atau SD untuk menduduki jabatan organik di KPU karena terdapat pasal pamungkas yang mengizinkan sekjen untuk melakukan hal tersebut atas dasar pertimbangan "lain" dari Sekjen. Tidak dijelaskan pula apa yang dimaksud kebijakan lain tersebut.
Dalam hukum administrasi negara, keadaan tertentu ini biasanya masuk dalam kewenangan diskresi pejabat pemerintah. Dalam undang-undang pengertian diskresi berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
Keputusan atau tindakan pejabat berupa diskresi ini tidak serta merta bisa dilaksanakan, karena pelaksanaan diskresi harus memenuhi persyaratan tertentu sesuai dengan Pasal 22 Undang-Undang 30 Tahun 2014, yaitu melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Keadaan tertentu dapat diartikan terdapat kondisi stagnasi pemerintahan, keadaan darurat, mendesak, dan/atau bencana. Dalam hal terjadi keadaan urgensi maka secara hukum pejabat diberikan keleluasaan untuk mengambil keputusan atau tindakan dengan tujuan untuk merespon keadaan tersebut demi kepentingan umum.
Terkait dengan seleksi Pejabat administrator atau sekretaris KIP/KPU Kabupaten Kota, maka Sekjen KPU dapat saja memuluskan PNS di luar KPU alias non organik untuk menduduki posisi bahkan mengecualikan kualifikasi pendidikan (sehingga PNS dengan pendidikan rendah dapat menduduki jabatan) adalah dalam keadaan darurat. Misal dalam organisasi KPU sendiri pegawai organik masih minim, belum ada yang cakap dan memenuhi syarat kepangkatan, sehingga direkrutlah pegawai dari luar KPU.
Pertanyaannya, apakah KPU saat ini masih kekurangan pns organik? Apakah KPU saat ini kekurangan pegawai yang cukup pangkat dan kualifikasi untuk menduduki jabatan tinggi pratama, adminstrator bahkan pengawas sehingga membuka keran seluas luasnya bagi Pns non organik untuk menduduki posisi di KPU? Tentu hal ini harus dijawab oleh institusi KPU secara terang benderang kepada publik.
Fakta bahwa hampir setiap tahun sejak moratorium PNS dibuka kembali oleh Pemerintah, KPU selalu membuka rekrutmen CPNS. Bahkan setiap tahun pula sejak tahun 2015, KPU membuka program beasiswa agar PNS KPU yang memenuhi persyaratan dapat melanjutkan pendidikan ke strata dua.
Sementara itu, terdapat juga program alih status bagi pegawai pemda untuk menjadi pns organik KPU. Tunjangan Kinerja KPU yang dinilai lebih menggiurkan dari instansi asal membuat PNS pemda ramai ramai mengikuti program naturalisasi menjadi PNS organik KPU.
Lantas apakah dengan serangkaian kebijakan itu KPU masih saja kekurangan SDM yang piawai dan memenuhi kompetensi untuk menduduki posisi di lembaganya sendiri?
Analisis Hukum Pegawai Non organik KPU dalam 3 Besar
Secara filosofi hukum , dasar persyaratan utama pengisian posisi jabatan di KPU diisi oleh PNS organik KPU dikarenakan selain KPU ingin agar jenjang karir PNS organiknya sendiri jelas, juga dikarenakan PNS organik KPU dinilai lebih memahami seluk beluk penyelengaraan tata kelola pemilu dibandingkan PNS instansi non organik KPU.
Lolosnya nama nama Sekretaris KIP/KPU Kabupaten/kota non organik tersebut tanpa adanya kejelelasan dalam hal keadaan tertentu, sebagaimana diatur dalam Keputusan Sekretaris Jenderal Komisi Pemilihan Umum Nomor 366/SDM.05.5-Kpt/05/IV/2021. Tidak jelas Indikator dasar meloloskan pegawai non organik KPU tersebut ke dalam tiga besar.
Jika tidak ada argumentasi kuat maka publik dapat mencurigai terdapat indikasi permainan yang perlu diluruskan oleh tim pansel. Ada penilaian yang publik cermati bahwa bila kita baca dalam arena putusan ini ada pemanfaatan jaringan yang dimotori oleh alumni STPDN.
Berdasarkan pencermatan dari pengumuman, terdapat sedikitnya 10 nama alumni STPDN yang masuk 3 besar dalam pengumuman seleksi jabatan sekretaris KPU Kabupaten/Kota. Nama nama tersebut tersebar dari Aceh hingga Papua.
Lantas apakah putusan tiga besar tersebut dapat digugat secara hukum? Secara hukum, mengenai gugatan terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh badan/pejabat tata usaha negara (TUN) , maka kita merujuk pada peraturan-peraturan yang terkait, yaitu UU PTUN sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU 9/2004), dan terakhir dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU 51/2009”).
pengumuman tersebut pada dasarnya merupakan ranah objek Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Berdasarkan pengertian KTUN yang dapat menimbulkan akibat hukum tentu mempunyai kemungkinan untuk terjadinya konflik kepentingan antara badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan KTUN dengan seseorang atau badan hukum perdata.
Berdasarkan Pasal 53 ayat (1) UU 5/1986, pihak yang merasa kepentingannya dirugikan atas sebuah keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN dapat mengajukan gugatan tertulis ke Pengadilan TUN yang berisi tuntutan agar Keputusan TUN yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.
Kemudian, Pengadilan TUN akan memberikan putusan yang dapat berupa (Pasal 97 ayat (7) UU 5/1986):
a. gugatan ditolak;
b. gugatan dikabulkan;
c. gugatan tidak diterima;
d. gugatan gugur.
Menurut Pasal 97 ayat (8) dan (9) UU 5/1986, dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan TUN. Kewajiban tersebut berupa:
a. pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan; atau
b. pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang baru; atau
c. penerbitan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.
Jadi, Pengadilan TUN-lah yang memiliki fungsi memerintahkan badan/pejabat TUN untuk mencabut penetapan nama 3 besar dari KPU tersebut atau mencabut kemudian memerintahkan penetapan keputusan yang baru.
Dengan demikian, yang berwenang untuk mencabut sebuah Penetapan yang dikeluarkan oleh badan/pejabat TUN adalah badan/pejabat TUN itu sendiri namun berdasarkan perintah Pengadilan TUN.
Penulis: Fernanda (Pengamat Politik dan Pemerintahan sekaligus Peneliti Jaringan Survei Inisiatif )