Beranda / Berita / Aceh / Workshop KTR: Aceh Institute Soroti Kurangnya Komitmen Pejabat dalam Implementasi Kebijakan

Workshop KTR: Aceh Institute Soroti Kurangnya Komitmen Pejabat dalam Implementasi Kebijakan

Kamis, 03 Oktober 2024 20:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Aceh Institute bekerja sama dengan media Komparatif.id menggelar workshop bertajuk Penguatan Media Dalam Mempromosikan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Banda Aceh, Kamis (3/10/2024). [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Aceh Institute bekerja sama dengan media Komparatif.id menggelar workshop bertajuk "Penguatan Media Dalam Mempromosikan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Banda Aceh." 

Acara yang berlangsung di Kantor Redaksi Komparatif.id ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran media dan masyarakat tentang pentingnya kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Aceh.

Direktur Eksekutif Aceh Institute, Muazzinah Yakob, yang menjadi salah satu pembicara utama dalam kegiatan ini, menekankan pentingnya peran media dalam advokasi kebijakan KTR. 

Menurutnya, advokasi terhadap kebijakan kawasan tanpa rokok tidak hanya berhenti pada lahirnya regulasi, namun juga pada bagaimana regulasi tersebut diimplementasikan dengan baik.

“Alhamdulillah, sekarang semua kabupaten/kota di Aceh sudah memiliki regulasi KTR. Contohnya, Aceh Tamiang, Lhokseumawe, dan Pidie Jaya yang sebelumnya tidak memiliki peraturan terkait ini, kini telah menerapkan kanun KTR dengan dukungan dari berbagai LSM dan wartawan. Namun, tantangannya adalah pada komitmen implementasi dari pemerintah setempat,” kata Muazzinah.

Muazzinah menjelaskan bahwa meskipun regulasi KTR sudah ada di hampir semua daerah di Aceh, tantangan yang dihadapi tidak hanya terkait anggaran, tetapi juga komitmen dari pejabat publik dan kesadaran masyarakat. 

Salah satu contoh yang sering terjadi adalah kebiasaan merokok di kantor pemerintahan, meskipun sudah ditetapkan sebagai Kawasan Tanpa Rokok.

“Kita sering melihat kantor-kantor pemerintahan yang seharusnya menjadi contoh pelaksanaan KTR, justru menjadi tempat merokok bagi pejabatnya. Ini menunjukkan kurangnya komitmen dalam menjalankan peraturan,” tegas Muazzinah.

Selain itu, ia juga menyoroti masalah pendanaan. Aceh tidak mendapatkan banyak dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) karena Aceh lebih banyak menjadi konsumen rokok daripada produsen tembakau. 

Hal ini, menurutnya, menjadi salah satu tantangan dalam mendukung upaya penguatan KTR.

Tantangan lain yang diungkapkan oleh Muazzinah adalah rendahnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya kebijakan KTR. 

Ia menekankan bahwa masyarakat perlu menyadari pentingnya menjaga kesehatan bersama, terutama dalam melindungi kelompok non-perokok dari bahaya asap rokok.

“Setiap orang memiliki hak yang sama, baik perokok maupun non-perokok. Perokok berhak untuk memilih merokok, tetapi kita yang bukan perokok juga memiliki hak untuk mendapatkan udara yang bersih. Jika kesadaran ini bisa dibangun di semua lini, maka kebijakan KTR akan lebih efektif dan berjalan dengan baik tanpa harus mengandalkan sanksi yang berat,” jelasnya.

Muazzinah juga menyoroti bahwa penerapan sanksi bukanlah satu-satunya cara untuk menegakkan kebijakan KTR. 

Sebagai contoh, ia mengungkapkan bagaimana kebijakan larangan merokok di transportasi umum dan stasiun kereta api bisa berjalan dengan baik karena adanya kesadaran kolektif dari masyarakat.

Menurut Muazzinah, para pejabat publik perlu menjadi teladan dalam penerapan kebijakan KTR. 

Ia mencontohkan mantan Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan, yang berhasil menerapkan larangan merokok di seluruh jaringan kereta api Indonesia, meskipun beliau sendiri adalah seorang perokok berat.

“Kita butuh komitmen seperti itu di Aceh. Jangan sampai masyarakat baru sadar pentingnya KTR setelah adanya sanksi. Kesadaran kolektif harus dibangun dari sekarang, terutama untuk melindungi generasi muda kita dari dampak buruk merokok,” pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI