DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Wilayah Kerja (WK) Andaman, yang terletak di lepas pantai Aceh, kembali menjadi sorotan dunia migas setelah temuan gas besar oleh perusahaan asal Abu Dhabi, Mubadala Energy di Blok South Andaman.
Temuan ini mengindikasikan bahwa WK Andaman menyimpan potensi gas yang sangat besar, yang dapat menjadi game changer bagi industri migas Indonesia. Namun, di balik potensi tersebut, terdapat sejumlah tantangan yang perlu diatasi.
Hal ini mengemuka dalam pertemuan antara Kepala Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA), Nasri Djalal, dan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Joko Siswanto, di Gedung Wisma Mulia, Jakarta, pada Selasa (4/3/2025).
Pertemuan ini membahas tiga isu krusial: pengelolaan WK Andaman, regulasi sumur tua, dan perpanjangan Memorandum of Understanding (MoU) antara SKK Migas dan BPMA.
"Ketiga isu ini sangat krusial dan perlu segera ditindaklanjuti," tegas Nasri yang didampingi oleh Nizar Saputra dan staf BPMA.
Ia menekankan pentingnya melibatkan BPMA dalam pengelolaan WK Andaman, mengingat Aceh sebagai daerah penghasil migas memiliki kepentingan strategis dalam pengelolaan sumber daya tersebut.
Potensi Ekonomi yang Menjanjikan
WK Andaman diperkirakan menyimpan cadangan gas yang signifikan, terutama setelah temuan Mubadala Energy di Blok South Andaman. Temuan ini tidak hanya menarik minat investor asing, tetapi juga membuka peluang besar bagi peningkatan produksi migas nasional.
"SKK Migas akan mendukung segala upaya untuk mempercepat dan meningkatkan produksi migas," kata Joko Siswanto.
Namun, potensi besar ini tidak serta merta mudah diwujudkan. Tantangan teknis, regulasi, dan koordinasi antarlembaga menjadi hambatan yang perlu segera diatasi. Salah satunya adalah regulasi sumur tua yang masih belum jelas, yang dapat menghambat optimalisasi produksi.
Selain tantangan teknis, pengelolaan WK Andaman juga memerlukan koordinasi yang solid antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan perusahaan migas. BPMA, sebagai perwakilan pemerintah Aceh, menekankan pentingnya sinergi dalam pengelolaan migas di wilayah tersebut.
"Kami ingin memastikan bahwa pengelolaan WK Andaman memberikan manfaat maksimal bagi Aceh," ujar Nasri.
Di sisi lain, perpanjangan MoU antara SKK Migas dan BPMA juga menjadi isu penting. MoU ini menjadi landasan hukum bagi kerja sama teknis antara kedua lembaga dalam pengelolaan migas di Aceh. Tanpa perpanjangan MoU, koordinasi dan implementasi program bisa terhambat.
Dengan potensi gas yang besar, WK Andaman diharapkan dapat menjadi motor penggerak ekonomi baru bagi Aceh dan Indonesia. Namun, untuk mewujudkan hal ini, diperlukan komitmen kuat dari semua pihak untuk mengatasi tantangan yang ada.
"Kami berharap koordinasi dan sinergi antara BPMA dan SKK Migas dapat terus ditingkatkan," pungkas Nasri. [red]