DIALEKSIS.COM | Redelong - Banjir bandang yang melanda Kabupaten Bener Meriah bukan sekadar peristiwa alam. Bagi Erwin Gayo, warga Pondok Baru yang lahir dan besar di wilayah itu, bencana tersebut adalah peringatan keras tentang kerusakan yang dibiarkan menumpuk, baik pada alam maupun pada nurani manusia.
Dalam surat terbuka yang ditujukan kepada Gubernur Aceh dan Bupati Bener Meriah, Erwin menulis bahwa hujan yang turun berhari-hari telah membuka aib yang selama ini tertutup rapi. Bukan hanya aib pengelolaan lingkungan, tetapi juga wajah sosial masyarakat yang diuji ketika bencana datang.
Erwin mengingatkan bahwa Bener Meriah berada di kawasan yang memiliki gunung api aktif Burni Telong serta Gunung Bur Koel, kawasan hijau tertinggi yang menjadi hulu bagi sungai sungai besar yang mengalir ke wilayah Aceh Utara dan Aceh Timur.
Menurut dia, longsor yang terjadi di Bur Koel bukanlah kejadian yang datang tiba-tiba. Ia menilai para pemangku kebijakan tentu memahami sebab musababnya, baik secara ilmu pengetahuan maupun logika alam.
Ia menegaskan bahwa hingga surat itu ditulis, aktivitas penebangan hutan masih dapat disaksikan secara kasat mata, bahkan dari sekitar pusat pemerintahan kabupaten. Situasi tersebut memunculkan pertanyaan mendasar tentang pengetahuan dan persetujuan pemerintah daerah terhadap praktik tersebut.
Sorotan juga diarahkan pada pembangunan di sepanjang daerah aliran sungai. Erwin menilai para pejabat daerah tentu memahami batas aman pembangunan di kawasan tersebut. Namun sebuah pasar rakyat yang dibangun di tepi Sungai Wih Ni Delung, tidak jauh dari pusat pemerintahan, kini rata dengan tanah setelah diterjang banjir bandang dan kayu kayu besar dari hulu sungai.
Selain kerusakan fisik, Erwin menyoroti keretakan sosial yang muncul setelah bencana. Terputusnya jalur distribusi membuat pasokan barang tersendat. Dalam kondisi itu, ia menyaksikan penjarahan minimarket terjadi tanpa adanya seruan moral yang tegas dari tokoh agama. Bagi Erwin, peristiwa tersebut menimbulkan pertanyaan tentang makna syariat Islam yang selama ini diklaim sebagai identitas Aceh.
Ia juga mengkritik praktik ekonomi yang dianggap tidak berempati. Menurutnya, harga barang kebutuhan melonjak tajam meski stok yang dijual merupakan barang lama. Di tengah kepanikan masyarakat, ia melihat sebagian pihak justru memanfaatkan situasi untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Hal serupa terjadi pada jasa penyeberangan yang mematok tarif tinggi bagi warga yang terpaksa melintas jalur alternatif.
Kondisi tersebut, menurut Erwin, berpotensi menjadi bara dalam sekam yang dapat memicu konflik antarsuku bila tidak segera ditangani. Ia menegaskan bahwa masyarakat Gayo selama ini hidup damai berdampingan dengan warga dari wilayah pesisir Aceh. Kedamaian itu, kata dia, tidak boleh dibiarkan retak oleh ketidakadilan dan pembiaran.
Erwin mengingatkan bahwa Gubernur Aceh dan Bupati Bener Meriah adalah pemimpin yang dipilih rakyat. Karena itu, ia meminta agar pemerintah membuka ruang dialog dengan masyarakat untuk merawat kedamaian dan menyelamatkan keseimbangan alam di Dataran Tinggi Gayo. Bur Koel, menurutnya, adalah sumber mata air terakhir yang kini terus digunduli tanpa ampun.
Dalam penutup suratnya, Erwin menegaskan bahwa alam tidak pernah keliru menjaga keseimbangannya. Kerusakan, kata dia, selalu berakar pada kerakusan manusia yang berlindung di balik simbol dan jargon.
Ia mengingatkan bahwa Aceh sedang berada dalam kondisi yang tidak baik-baik saja, dan hanya dengan keberanian untuk bercermin serta berdialog, kehancuran yang lebih besar bisa dicegah. [arn]