DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Warga Gampong Panton Rayeuk T, Kecamatan Banda Alam, Aceh Timur, bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, menggelar konferensi pers di Warung Kopi Sirnagalih, Banda Aceh, Rabu (6/8/2025) pagi.
Mereka mengecam rencana PT Medco E&P Malaka untuk kembali membersihkan sumur gas AS9 tanpa menjelaskan risiko secara transparan.
“Kami masih trauma, dan sekarang kami dihadapkan lagi pada ketakutan yang sama,” ujar Muhammad Nuraki, seorang sukarelawan yang mengorganisir warga Gampong Panton Rayeuk T kepada media dialeksis.com.
Dua tahun lalu, tepatnya 24 Agustus 2023, pembersihan sumur gas oleh PT Medco mengakibatkan kebocoran gas Hidrogen Sulfida (H2S), zat beracun yang berpotensi mematikan.
Sebanyak 34 warga mengalami keracunan dan harus dilarikan ke rumah sakit. Bahkan, lebih dari 400 warga harus mengungsi selama lima hari.
“Anak-anak kehilangan akses belajar. Banyak warga kehilangan pendapatan karena harus meninggalkan rumah. Itu bukan sekadar angka. Itu trauma yang masih nyata,” kata Nuraki.
Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Ahmad Shalihin menyatakan bahwa keresahan warga sangat beralasan. Menurutnya, PT Medco E&P Malaka belum menunjukkan itikad baik untuk belajar dari insiden sebelumnya.
Alih-alih menenangkan publik dengan informasi yang lengkap dan prosedur mitigasi bencana, perusahaan justru terus melaju dengan proyeknya.
“Ini bukan semata soal produksi. Ini soal nyawa manusia. Setiap kegiatan industri ekstraktif harus mengedepankan prinsip kehati-hatian. Sayangnya, PT Medco gagal menjamin keselamatan warga,” tegas Shalihin.
Ia menambahkan, dalam konteks lingkungan, perusahaan migas seperti Medco memiliki kewajiban untuk membuat laporan pengelolaan lingkungan minimal dua kali setahun kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) kabupaten.
“Pertanyaannya: apakah laporan itu benar-benar diverifikasi? Apakah DLH Aceh Timur melakukan monitoring lapangan?” katanya.
Menurut Nuraki, warga tidak pernah diajak bicara dalam rencana pembersihan sumur AS9. Tidak ada forum terbuka, tidak ada penjelasan rinci, bahkan Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan darurat pun belum disosialisasikan.
“Kami hanya tahu, tiba-tiba akan ada kegiatan. Padahal ini bukan soal kecil. Kalau gas bocor lagi, siapa yang akan bertanggung jawab?” katanya.
Desa Panton Rayeuk T merupakan wilayah paling dekat dan paling sering terdampak dari aktivitas pencucian dan perawatan sumur gas AS9 maupun AS11. Trauma dan ketakutan yang dialami warga bukan terjadi sekali dua kali.
Bahkan pada periode 2021“2023, warga sudah pernah mengungsi akibat insiden serupa. Belasan dari mereka harus dirawat inap di Rumah Sakit Zubir Mahmud.
Tak hanya di Panton Rayeuk T, dampak aktivitas Medco juga dirasakan warga Desa Blang Nisam di Kecamatan Indra Makmur, tempat Central Processing Plant (CPP) Medco berada.
Sejak beberapa tahun lalu, warga Blang Nisam kerap mencium bau menyengat yang diduga berasal dari aktivitas pengolahan gas.
Gejalanya serupa seperti mual, sesak napas, mata perih, hingga nyeri kepala. Beberapa warga bahkan sempat dirawat di puskesmas setempat maupun Rumah Sakit Zubir Mahmud.
Namun, menurut Nuraki, kondisi di Blang Nisam saat ini sedikit membaik. “Sejak ada aksi kampanye ‘Tolak Bau’ oleh komunitas perempuan, intensitas bau itu berkurang. Kami akui itu. Tapi jangan sampai di satu tempat membaik, tempat lain malah disiksa,” pungkasnya.[nh]