Wacana Sistem Pemilu Proposional Tertutup Dinilai Sangat Riskan
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Peneliti Senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Dr. Firman Noor, S.I.P, MA [Foto: Ist]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim As'yari melontarkan pernyataan kalau sistem Pemilu 2024 akan berpotensi digelar dengan sistem proporsional tertutup.
Salah satu alasannya karena kini sistem pemilu proporsional terbuka dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, sedang digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). Perkara ini bernomor 114/PUU-XX/2022.
Wacana penyelenggaraan pemilu dengan sistem proporsional tertutup beberapa bulan lalu sempat diusulkan oleh salah satu partai politik (parpol) di parlemen, yaitu PDIP.
Menanggapi hal itu, Peneliti Senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Dr. Firman Noor, S.I.P, MA mengatakan, wacana tersebut sangat riskan sekali dan perlu pengkajian yang sangat serius, karena jika hal itu terjadi maka semakin memperlemah legitimasi KPU di mata masyarakat.
“Saya khawatir juga legitimasi pemerintahan yang terbentuk juga terganggu kalau memang seperti ini,” ucapnya saat diwawancarai Dialeksis.com, Senin (2/1/2023).
Lebih lanjut, kata Prof Firman, kini masalah pemilu di negeri ini demikian kompleks, kecurangan yang terjadi kembali harus mengaca pada kualitas peserta, kesigapan dari pelaksana, dan kontribusi masyarakat.
“Kalau digelar dengan sistem proporsional tertutup maka itu tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan banyak kelemahan yang akan memundurkan kualitas demokrasi kita,” ungkapnya.
Ia melihat bahwa hari ini demokrasi yang diperlihatkan adalah demokrasi elitis, yaitu demokrasi yang diatur oleh segelintir elit.
“Di dalam konteks pemilu terbuka saja ketika masih ada kesempatan caleg itu lebih fokus pada konsituen bukan kepada pimpinan partai itu nuansa elitisnya sudah kental, apalagi nanti yang menentukan jadi daftar atau tidak itu oleh ketua umum partai. Nah ini akan kacau sekali nanti, terbuka aja sudah elitis apalagi tertutup,” jelasnya lagi.
Sambungnya, nanti akan menghasilkan wakil rakyat yang ‘yes men’, ketika mereka ada di parlemen itu hanya orang-orang yang ditanam oleh kepentingan elit, tidak ada tawaran dari wakil rakyat yang murni dipilih karena kedekatan dengan rakyat.
Menurutnya, hal paling dikhawatirkan dari wacana itu adalah semakin tidak mendekati rakyat, sekarang saja sudah nuansanya oligarki, apalagi kalau nanti tertutup, pastinya tidak ada lagi pintu masuk untuk rakyat.
“Suara rakyat dipasrahkan kepada partai artinya rakyat nyoblos untuk memberikan kewenangan penuh ke tangan ketua umum partai,” imbuhnya.
Ia menegaskan, kebijakan tersebut tidak cocok diterapkan sekarang, kecuali nanti ketika parpol sudah terlembaga dengan baik, rasa tanggung jawab kepada bangsa dan negara tinggi, oligarki sudah disingkirkan tidak berkuasa seperti saat ini.
“Barulah kita bisa percaya bahwa wakil rakyat kita orang yang kredibel dan punya komitmen demokratis yang kuat. Tapi kalau sekarang ini sangat riskan,” pungkasnya. (Nor)