Unsyiah Sudah Bayar Ganti Rugi Tanah pada 1975 dari T Nyak Arief
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM| Banda Aceh - Ternyata Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) sudah membayar ganti rugi tanah yang saat itu berstatus erfpacht verponding pada tahun 1975. Tanah seluas 181,3 hektar yang di dalamnya berisi tanaman perkebunan, sudah dibayarkan pihak Unsyiah kepada keluarga Teuku Nyak Arief.
Dari dokumen yang berhasil Dialeksis.com dapatkan, tercatat keluarga almarhum Teuku Nyak Arief yang diwakili T Syamsul Bahri SH, Dosen Fakultas Hukum USU, beralamat di Jalan Diponegoro Medan, bertindak atas nama ahli waris Teuku Nyak Arief.
Teuku Syamsul Bahri bertindak atas nama ahli waris T Nyak Arief, sesuai dengan akte notaris 10 Juni 1975.
Atas nama ahli waris melepaskan hak atas tanah kebun bekas hak erfpacht verponding, sekarang Kampus Unsyiah, dengan luas 181,3 hektar, seperti yang disebut dalam berita acara penaksiran ganti rugi perkebunan 18 Januari 1975.
Ganti rugi pembebasan tanaman kelapa dan hak prioritas kesempatan mengusahakan tanah seluas 181,3 hektar sampai tahun 1980.
Tim penaksir Perkebunan (18-1-1975) dengan Pimpro ganti rugi pada saat itu tercatat nama Drs. M. Hasbuh Aziz, dikuatkan dengan SK Mendagri tertanggal 4-4- 1975, SK 51/DJA/1975 dan surat Direktur Anggaran tanggal 18-8-1975 nomor B-4-14/DJA/III-6/8/75, serta SK Menteri Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan tertanggal 19-5-1975, dengan nomor 742/D/2/DIP/75/349.
Nilai ganti rugi yang ditaksir tim penaksir perkebunan mencapai Rp 32.625.000 (nilai rupiah pada tahun 1975), ditambah pembayaran ganti rugi tenaga kerja untuk 20 orang. Setiap tenaga kerja diberikan kompensasi gaji, dikali pendapatan selama 5 bulan. Pendapatan tenaga kerja ini Rp 8.000 perbulan, dengan demikian setiap orang mendapatkan Rp 40.000,-.
Pembayaran ganti rugi di area tanah seluas 181,3 hektar, dimana 145 hektar sudah dijadikan lahan perkebunan produktif berisi tanaman kelapa. Tim yang turun pada saat itu untuk menaksir ganti rugi, menyimpulkan setiap hektar terisi 150 pohon kelapa.
Dengan luas 145 hektar, tercatat 21.750 pohon kelapa yang sudah ditanam disana ditaksir berumur sekitar 31 tahun. Pihak tim ganti rugi menetapkan nilai sebatang kelapa untuk diganti rugi Rp 1.500. Otomatis ketika dikalikan 21.750 pohon kelapa nilai ganti ruginya mencapai Rp 32.625.000.
Sementara untuk menghasilkan lahan itu menjadi perkebunan kelapa, dibutuhkan tenaga kerja mencapai 20 orang yang sudah bekerja disana selama 5 tahun.
Dialeksis berhasil menemukan dokumen Unsyiah tentang tanah yang selama ini sempat menjadi pembahasan. Namun sumber Dialeksis.com enggan jati dirinya disiarkan, sehubungan dengan dokumen ini.
Dari luas tanah 181,3 hektar itu, sesuai dengan akta tanah tanggal 17 Pebruari 1921, pihak BPN Aceh yang sudah melakukan pengukuran di tanah tersebut, menemukan perbedaan luas, bukan lagi 181,3 hektar, namun hanya 175,64 hektar, atau ada perbedaan 5,66 hektar.
Di area seluas 181 hektar itu di dalamnya sudah termaktup proyek pengaturan dan pemeliharaan sungai Krueng Aceh seluas 7,46 hektar. Area IAIN Ar-Raniry (kini UIN) mencapai 35,75 hektar, sementara Unsyiah 132,43 hektar (sebelum perbaikan hanya 124 hektar). Total jumlah area ini hanya 175,64 hektar.
Menurut Pohan, tim pengukur tanah Badan Pertanahan Aceh, kekurangan itu bisa disebabkan oleh pelebaran jalan dan termakan sungai. Pengukuran otentik tentang tanah ini dilakukan berlapis, pertama pada tanggal 15 Maret 1988, disusul 23 Januari 1990 dan 4 Juni 1990. (Baga)