kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Ujaran Kebencian Dalam Pilpres 2019 Akan Lahirkan Perpecahan Dalam Masyarakat

Ujaran Kebencian Dalam Pilpres 2019 Akan Lahirkan Perpecahan Dalam Masyarakat

Rabu, 26 September 2018 23:00 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Propaganda dan muatan kampanye yang diperagakan oleh kelompok pendukung calon presiden dalam pilpres 2019 yang cenderung terlihat sebagai usaha membenarkan kelompok masing-masing dan menjelekkan lawan politik, akan berpotensi menghadirkan perpecahan dalam masyarakat pasca pilpres. 


Demikian dikatakan oleh Dr. Sehat Ihsan Shadiqin, M.Ag (Ketua Prodi Sosiologi Agama UIN Ar-Raniry) dalam diskusi "Menghindari Perpecahan Akibat Perbedaan Pilihan dalam Pilpres 2019", yang diselenggarakan oleh Prodi Sosiologi Agama bekerjasama dengan Lembaga Seuramoe pada kamis, 26 September 2018, di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry Banda Aceh.Diskusi ini juga menghadirkan narasumber lain Musdawati, MA (Dosen Sosiologi Agama) dan Muslahuddin Daud (Aktivis Sosial).

 

Menurut Sehat Ihsan, dalam persaingan pilpres 2019 ini, kebenaran tidak lagi berkorelasi dengan realitas, namun sengaja diciptakan untuk mendukung kepentingan politik masing-masing kelompok, yang akhirnya kebenaran dianggap sebagai sebuah kebohongan dan omong kosong belaka. Fenomena ini disebut sebagai post truth. Post truth yang paling populer adalah sebutan cebong dan kampret kepada kelompok-kelompok calon presiden.

Secara umum topik yang paling sering dimunculkan adalah agama dan politik. Dalam bidang politik, muncullah istilah-istilah seperti Aseng-asing, PKI, hutang, Pelanggar HAM dan sebagainya, sementara istilah yang mucul dalam bidang agama seperti sesat, liberal, radikalis, khilafah, Islam nusantara dan lain-lain.


Klaim-klaim tersebut menjadi menakutkan ketika para netizen melakukan framing dan menyebarluaskannya melalui media sosial yang diakses oleh mayoritas anak muda, dan akhirnya mereka emosional dalam memperjuangkan pilihannya masing-masing. Menurut Sehat Ihsan, sebutan-sebutan tersebut membuat sakit hati dan perasaan dendam dari lawan-lawan politik dan akhirnya memicu terjadinya perpecahan dalam masyarakat.


Sehat Ihsan menyatakan, Islam sendiri tidak membolehkan umatnya menyakiti perasaan orang lain. "Banyak ayat-ayat yang berbicara tentang ini, seperti jangan berburuk sangka kepada orang lain, atau jangan mencari-cari kejelekan orang lain, atau memanggil orang lain dengan laqab (sebutan) yang buruk, itu sudah jelas dalam al-quran, dan tidak perlu buku tafsir khusus untuk memahami makna ayat-ayat ini", tegas Sehat Ihsan.


Musdawati, MA, narasumber lain yang mengulas topik "The Power of Emak-emak, Politik dan Pemilu Damai", Menyatakan bahwa perempuan akan mampu berkontribusi dalam mendorong pemilu damai, jika mereka menjadi subjek dalam kontestasi tersebut. Menurutnya keterlibatan perempuan dalam pemilu belum berkualitas, ini dapat dilihat dari banyak perempuan yang dimanfaatkan oleh sekolompok orang untuk kepentingan mereka. "Contoh kasus dalam pemilu 2014, di sebuah daerah ada perempuan dimobilisasi untuk memilih calon tertentu, ini menunjukkan bahwa perempuan dapat menjadi subjek dan juga dapat menjadi objek dalam politik".


Sementara itu Muslahuddin Daud (Narasumber lain), menyatakan media sosial sekarang sudah mampu bersaing dengan media mainstream yang selama ini menguasai informasi.  Perkembangan tersebut menjadikan semua orang dapat menciptakan informasi dan menyebarkannya kepada masyarakat. karena itu masyarakat butuh penyaring ketika menerima informasi, dan kondisi itu belum sepenuhnya terjadi dalam masyarakat kita, sehingga berbagai reaksi negatif muncul karena provokasi media sosial. Menurut Muslahuddin, kelompok yang paling mungkin memiliki penyaring adalah intelektual dan mahasiswa, karena itu ia menghimbau.


kalangan intelektual harus mengedepankan logika yang berdasarkan pada pengetahuan dan rujukan pada informasi yang diterimanya.


Muslahuddin menambahkan, mahasiswa harus meningkatkan peran partisipasi mereka sebagai masyarakat sipil, karena partisipasi masyarakat sipil akan mendorong akuntabilitas dalam penyelenggaraan negara. "Negara tidak akan mampu melakukan pembangunan jika hanya mengandalkan pemerintahsaja,  tanpa melibatkan swasta dan masyarakat sipil. Kondisi inilah yang membuat kita strategis karena berkontribusi mendorong percepatan pembangunan di Indonesia". (rel)



Keyword:


Editor :
AMPONDEK

riset-JSI
Komentar Anda