UIN Ar-Raniry Gelar Dialog Keacehan, Bedah Visi-Misi Paslon Gubernur Aceh 2025-2030
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Dialog Keacehan yang mengangkat tema “Pendidikan, Kebudayaan, dan Kepemudaan” sebagai wadah untuk membedah visi-misi para pasangan calon (paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh periode 2025-2030. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh kembali menunjukkan peran aktifnya dalam proses demokrasi di Aceh dengan menggelar Dialog Keacehan yang mengangkat tema “Pendidikan, Kebudayaan, dan Kepemudaan” sebagai wadah untuk membedah visi-misi para pasangan calon (paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh periode 2025-2030.
Dialog yang berlangsung pada Senin (4/11/2024) di Auditorium Prof. Ali Hasjmy ini menghadirkan dua tokoh penting: Muhammad Fadhil Rahmi, Calon Wakil Gubernur Nomor Urut 1, dan Fadhlullah, Calon Wakil Gubernur Nomor Urut 2.
Acara ini merupakan kolaborasi antara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) UIN Ar-Raniry, Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah Aceh, DPD KNPI Aceh, SEMA UIN Ar-Raniry, dan Kementerian Penerangan DEMA UIN Ar-Raniry, yang bersatu dalam upaya menciptakan dialog yang produktif serta inklusif bagi semua pihak, khususnya generasi muda.
Dialog ini juga turut dihadiri oleh ratusan peserta yang terdiri dari mahasiswa, akademisi, aktivis budaya, pemuda, hingga tokoh masyarakat yang antusias mendengarkan langsung pemaparan visi-misi para calon pemimpin Aceh.
Penjabat (Pj.) Gubernur Aceh, Safrizal ZA, yang diwakili oleh Staf Ahli Gubernur Bidang Perekonomian, Keuangan, dan Pembangunan, Restu Andi Surya, membuka acara dengan penuh apresiasi.
Dalam sambutannya, Restu mengungkapkan bahwa dialog semacam ini merupakan momentum krusial bagi masyarakat Aceh untuk mengenal lebih dalam sosok dan https://dialeksis.com/polkum/usai-debat-mualem-jika-terpilih-visi-dan-misi-kami-akan-dijalankan/ calon pemimpin yang akan membawa Aceh menuju masa depan.
“Acara ini bukan hanya merupakan rangkaian kegiatan menuju pemilihan yang akan datang, tetapi juga sebuah momentum penting bagi seluruh masyarakat Aceh dalam memahami lebih mendalam sosok, visi, dan pemikiran dari calon-calon pemimpin yang akan membawa Aceh ke masa depan,” ujar Restu.
Ia juga menambahkan bahwa inisiatif yang dilakukan UIN Ar-Raniry ini sangat mendukung proses demokrasi yang sehat, transparan, dan partisipatif, yang mana merupakan elemen penting dalam menciptakan pemerintahan yang akuntabel.
Dalam kesempatan yang sama, Rektor UIN Ar-Raniry, Mujiburrahman, menegaskan bahwa kampus bukan hanya sebagai pusat akademik, tetapi juga sebagai penjaga tradisi demokrasi yang berkualitas.
Ia menekankan bahwa kesinambungan kepemimpinan sangat penting dalam Islam, dan bahwa dialog ini adalah wujud jihad politik demi terhindarnya Aceh dari kekosongan kepemimpinan yang dapat mengancam kemajuan daerah.
“Dialog ini merupakan salah satu kontribusi dunia akademik untuk memperkaya visi dan misi para calon gubernur dan wakil gubernur, khususnya dalam bidang pendidikan, kebudayaan, dan kepemudaan. Ketiga aspek ini sangat penting untuk kemajuan Aceh, baik saat ini maupun di masa depan,” jelas Mujiburrahman.
Ia berharap kegiatan ini dapat menjadi inspirasi bagi calon pemimpin Aceh untuk terus berupaya dalam menyempurnakan visi mereka demi kesejahteraan masyarakat.
Melalui forum dialog ini, Prof Mujib berharap muncul ide-ide yang konstruktif dan aplikatif untuk membangun Aceh yang lebih baik.
“Melalui dialog ini, diharapkan muncul ide-ide konstruktif untuk membangun Aceh yang lebih baik, serta mengawali sinergi antara pemerintah, akademisi, tokoh masyarakat, dan pemuda dalam membangun Aceh yang kita cintai,” tambahnya.
Dekan FISIP UIN Ar-Raniry, Muji Mulia, yang juga bertindak sebagai ketua panitia, dalam laporannya menyampaikan bahwa dialog ini bertujuan untuk menggali ide dan solusi konkret dalam menangani masalah yang dihadapi Aceh, terutama dalam sektor pendidikan, kebudayaan, dan kepemudaan.
“Aceh memiliki potensi besar di bidang pendidikan, kebudayaan, dan kepemudaan, namun kita masih dihadapkan dengan berbagai masalah, terutama dalam sektor pendidikan dan pengangguran,” ungkap Muji Mulia.
Ia juga menyoroti bahwa Aceh mencatat angka kekerasan sosial yang cukup tinggi di tahun 2023, yang mengindikasikan adanya tantangan dalam menciptakan lingkungan sosial yang aman dan kondusif.
Dialog ini juga semakin berbobot dengan kehadiran sejumlah narasumber pengayaan yang merupakan ahli di bidangnya, yakni Prof. Habiburrahim, PhD, seorang pakar pendidikan; Reza Idria, PhD, seorang pengamat kebudayaan; serta Aklima, MA, seorang aktivis kepemudaan.
Ketiganya menyampaikan pandangan dan gagasan terkait sektor pendidikan, budaya, dan pemuda yang dianggap sebagai pilar utama dalam pembangunan Aceh.
Prof. Habiburrahim menyoroti pentingnya akses pendidikan yang merata di seluruh Aceh. Menurutnya, pembangunan Aceh harus dibarengi dengan peningkatan kualitas pendidikan agar dapat menghasilkan SDM yang kompetitif dan berdaya saing tinggi.
“Untuk menciptakan generasi yang mampu bersaing, pendidikan adalah kunci utama. Kita harus memastikan pendidikan di Aceh tidak hanya terjangkau tetapi juga berkualitas,” jelasnya.
Reza Idria, di sisi lain, menyoroti upaya pelestarian kebudayaan Aceh di tengah arus modernisasi yang kuat. Ia menekankan bahwa kebudayaan Aceh memiliki kekayaan yang perlu dijaga dan dikembangkan agar generasi muda tidak kehilangan identitasnya.
“Kebudayaan Aceh adalah warisan berharga. Generasi muda harus terus didorong untuk mengenali dan melestarikan budaya mereka, agar tidak hilang digerus modernitas,” ujarnya.
Dekan FISIP UIN Ar-Raniry, Muji Mulia, yang juga bertindak sebagai ketua panitia. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]Aklima, MA, juga menyoroti peran pemuda dalam pembangunan Aceh. Ia menyebut bahwa pemuda harus menjadi agen perubahan yang aktif, terutama dalam isu-isu sosial dan pembangunan.
Menurutnya, pemuda Aceh harus diberdayakan untuk berpartisipasi dalam setiap proses pengambilan keputusan yang menyangkut masa depan mereka.
Dialog ini mendapat sambutan positif dari para mahasiswa yang hadir. Banyak di antara mereka yang berharap bahwa dialog ini akan menjadi titik awal perubahan yang nyata di Aceh, terutama dalam hal perbaikan kualitas pendidikan, pelestarian budaya, dan pemberdayaan pemuda.
Salah satu peserta, Rina, seorang mahasiswi Fakultas Tarbiyah, mengungkapkan harapannya agar calon pemimpin yang terpilih nanti benar-benar peduli terhadap pembangunan Aceh.
“Semoga calon yang terpilih benar-benar bisa membawa perubahan yang berarti. Kami, sebagai generasi muda, tentu berharap agar Aceh bisa lebih maju dan terbuka bagi kemajuan pendidikan dan budaya,” pungkas Rina. [nh]