Beranda / Berita / Aceh / Tolak RUU Cipta Kerja, FSPMI-KSPI Aceh: Aceh Punya Kekhususan

Tolak RUU Cipta Kerja, FSPMI-KSPI Aceh: Aceh Punya Kekhususan

Senin, 05 Oktober 2020 19:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Roni/Biyu

Ketua DPW FSPMI-KSPI Aceh, Habibi Inseun.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh – Berbagai serikat buruh mulai KSPSI Yoris, KSBSI, KSPN, dan KSARBUMUSI menolak produk RUU Cipta Kerja. Respon penolakan RUU tersebut disampaikan juga oleh Ketua DPW FSPMI-KSPI Aceh, Habibi Inseun.

Menurut Habibi, menyampaikan pandangan secara kelembagaan (keorganisasian) di Aceh tentu sama dengan apa yang diuraikan dalam rilis Nasional KSPI sebagai pimpinan pusat yang telah memberikan komentar atas persetujuan DPR untuk pengesahan RUU Cipta Kerja.

“Namun di Aceh, kegiatan yang akan kami lakukan bersama DPR Aceh dan Pemerintah akan lebih menekankan bahwa jika Pemerintah Indonesia memperlakukan RUU Cipta Kerja, maka kami mendesak agar Aceh kuatkan dan jalankan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Nomor 7 tahun 2014 tentang Ketenagakerjaan," jelas Habibi saat dihubungi Dialeksis.com (5/10/2020).

"Regulasi itu menjadi aturan yang sungguh-sungguh dapat memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi rakyat Aceh, tidak perlu diikuti sekali aturan pusat karena Aceh punya kekhususan,” tambahnya.

Ia menegaskan, untuk apa kekhususan kalau nasib masyarakat Aceh sama bahkan lebih buruk dari masyarakat yang di luar Aceh.

"Secara bersama serikat (organisasi) buruh di Aceh tetap lakukan aksi yang dinamai mogok nasional di masing-masing daerah dan di sektor masing-masing dan akan suarakan penolakan Omnibus Law, serta mempertanyakan di mana negara sekarang?" tegasnya.

Habibi melanjutkan, organisasi buruh Aceh kecewa dengan wakil rakyat di DPR RI yang tidak mendengar banyaknya aspirasi penolakan omnibus law khususnya klaster ketenagakerjaan dengan menyetujui RUU Cipta Kerja yang artinya akan disahkan.

“Jika demikian alangkah baiknya Aceh dapat menjalankan serta penguatan UU Nomor 11 Tahun 2006 dan pelaksanaan Qanun No.7 Tahun 2014, sehingga kekhususan Aceh akan dapat dirasakan oleh tenaga kerja Aceh,” ungkapnya.

Habibi Inseun kembali menegaskan, karena beberapa pasal yang jelas telah menurunkan perlindungan tenaga ini menunjukan tidak adanya job security.

Berdasarkan catatan KSPI, berikut hak-hak mendasar kaum buruh yang dikurangi dalam omnibus law:

Pertama, pemberlakuan upah minimum kabupaten kota (UMK) akan dipersyaratkan. Padahal, saat ini UMSK berlaku di seluruh kabupaten/kota, kecuali di DKI Jakarta dan Yogyakarta.

Kedua, upah minimum sektoral akan dihilangkan. Sehingga upah pekerja di perusahaan bonafit akan sama dengan upah perusahaan kecil. Kebijakan ini tidak adil (unfair) dan tidak memberikan perlindungan terhadap kepastian upah (income security).

Ketiga, pembayaran uang pesangon maksimum 32 bulan upah yang selama ini ditanggung oleh pengusaha sepenuhnya, dalam omnibus law pengusaha hanya dibebankan hanya 23 bulan upah. Sedangkan sisanya 9 bulan ditanggung oleh pemerintah. Ini adalah kebohongan, karena dalam praktiknya sangat jarang buruh menapat pesangon sebesar 32 bulan upah. Seringkali hanya 1 kali ketentuan (pmtk) atau 16 bulan upah, bahkan bisa lebih kurang dari itu. Hal ini disebabkan lemahnya penegakan hukum oleh pemerintah.

Keempat, ketika pesangon 9 bulan ditanggung pemerintah, selain skema tidak jelas, APBN akan jebol sehingga tidak bisa dipraktekkan atau dijalankan. Sehingga dengan sendirinya nilai pesangon akan turun.

Kelima, terkait aturan PKWT/pekerja kontrak, omnibus law menghilangkan batas waktu dan jenis pekerjaan. Hal ini akan membuat kontrak kerja seumur hidup, tanpa ada pengangkatan karyawan tetap. Sehingga tidak ada job securiry.

Keenam, outsourcing bebas di semua jenis pekerjaan dan bisa diterapkan seumur hidup tanpa ada pengangkatan menjadi karyawan tetap. Hal ini akan menciptakan apa yang disebut sebagai perbudakan modern.

Ketujuh, jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk pekerja kontrak dan outsourcing siapa yang membayar? Perusahaan outsourcing dipastikan nggak akan mau bayar. Sehingga bisa jadi buruh diminta membayar sendiri. Hal ini tidak adik, karena buruh harus membayar konpensasi untuk dirinya sendiri.

Kedelapan, omnibus law menghilangkan hak upah atas cuti. Termasuk cuti haid, malahirkan, menikahkan, baptis, haji dll.

Kesembilan, dalam omnibus law memungkinkan adanya waktu kerja yang eksploitatif. Hal ini karena tidak ada pengaturan waktu kerja yang jelas, sebagaimana dalam UU No 13 Tahun 2003.

Kesepuluh, jaminan sosial seperti jaminan kesehatan, jaminan hari tua, dan pensiun akan hilang ketika pekerja kontrak dan outsourcing diberlakukan seumur hidup.

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda