Beranda / Berita / Aceh / Tobatnya Seorang Pecandu Narkoba dari Aceh Tamiang

Tobatnya Seorang Pecandu Narkoba dari Aceh Tamiang

Jum`at, 26 Februari 2021 22:45 WIB

Font: Ukuran: - +


Abdul Muin (tengah) foto bersama Kadistanbunnak Aceh Tamiang, Yunus, SP beserta jajaran pengurus Maporina Aceh. Foto: For Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Selama delapan tahun terperangkap dalam kehidupan fatamorgana, dirinya berubah setelah kehilangan kedua orangtuanya. Kini menjadi pelopor pertanian organik di Desa Pahlawan kecamatan Karang Baru, Aceh Tamiang.

Namanya, Abdul Muin (42), ayah satu anak ini bersama 28 milenial lainnya sejak dua belas tahun lalu, tepatnya tahun 2008 mengajak teman-temannya membuat kelompok tani ‘Serasi’ dan kini tengah giat menyukseskan pertanian organik di Bumi Muda Sedia.

Awal memulai pertanian organik itu, ia mengungkapkan karena ketersediaan pupuk di lapangan saat dibutuhkan tidak ada. Dalam bertani organik itu juga, mereka selalu mendapat tantangan dan tidak sedikit yang menyebutkan pertanian organik itu mahal.

Namun semangat kelompok tani itu tak pernah pupus, berbagai perlakuan upaya yang mereka lakukan, untuk membuktikan bahwa pertanian organik itu tidak mahal akan tetapi ramah lingkungan dan berkelanjutan.

“Banyak limbah yang terbuang saya manfaatkan untuk kompos dan biayanya juga relatif lebih murah,” kata Abdul Muin, Jumat (26/2/2021).

“Kehadiran kami sangat diapresiasi, karena bertujuan untuk memajukan petani lainnya di wilayah Aceh Tamiang,” tambahnya.

Dirinya juga mengaku mendapat dukungan dari pemerintah kabupaten Aceh Tamiang karena melihat kegigihannya beraksi di lapangan. Melalui penyuluh Nurhasanah Damanik, mereka mendapatkan bantuan bibit dan pupuk. Kehadiran penyuluh selain pendampingan juga memberikan motivasi agar meraih sukses dalam berusaha tani.

Dari pengamatan setelah beberapa kali musim tanam diberikan pupuk kimia, tanahnya menjadi keras dan serangan hama pun semakin ganas tak terkendalikan dengan pestisida, sehingga hasilnya tidak meningkat.

Tahun 2018 lalu dengan adanya kompos bioaktivator, hasil temuan Admansyah Lubis, ia beralih ke pertanian organik. Bertani organik, kata dia, selain dapat memperbaiki keadaan tanah yang rusak, tanaman pun tumbuh subur dan menjadi bagus serta jarang sekali terserang hama dan penyakit.

Selain memiliki lahan di pekarangan rumah peninggalan almarhum orangtuanya, ia juga punya lahan seluas satu hektar untuk tanaman hortikultura. Bersama anggotanya lahan seluas 2000 m dimanfaatkan untuk menanam berbagai jenis tanaman sayur sayuran, ada mangga, durian, belut, ikan (system Biovlog) serta ayam. “Sementara untuk kambing ada di lokasi lain,” ungkapnya.

Di lahan 400 meter per segi, dia pernah menanam bawang merah yang menghasilkan 700 kg, pada saat panen kemarin harganya pun lumayan Rp25.000/kg. Selama masa dua bulan menanam bawang dia berdua dengan anggotanya telah menghasilkan uang 15 juta rupiah dan masuk ke kas kelompok. Pokoknya, setiap ada laba yang diperolehnya selalu disisihkan untuk kas kelompok.

Begitu juga di pinggiran halaman rumahnya terdapat alur sungai yang panjangnya 1000 meter, pihak desa pun sudah menghubunginya untuk dikelola secara terpadu. Namun dengan sedikit berdiplomasi dan mengatakan bukan menolak, tapi pihaknya kurang pantas menerima bantuan dana kampung.

"sebaiknya untuk anak-anak muda yang baru tamat sekolah dan belum mempunyai lapangan kerja saja,” kata dia.

Ditambahkannya seluruh waktu dan biaya yang dikeluarkan selama ini telah mendapat dukungan dari Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan serta Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Aceh Tamiang.

Sementara untuk tanaman cabai merah, dia memiliki lahan khusus seluas satu hektar, dia membuat pergiliran tanaman dengan bawang merah.

Untuk meningkatkan hasil dalam bertani, dalam segala hal berkoordinasi dengan penyuluh, khususnya dalam mengadopsi teknologi inovasi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian. Mereka pun pernah belajar tentang teknologi, di lokasi Demplot bawang merah di kecamatan Mulia.

Misi yang diharapkan dari kelompoknya adalah untuk mengubah anak muda jangan lagi terjun ke lembah hitam, khususnya bagi para kaum milenial. Selama ini, ia telah menggerakkan untuk memelihara ikan di alur sungai yang melintasi halaman rumahnya. Alur sepanjang 300 meter telah dipelihara beberapa jenis ikan, seperti Patin, Gurami Nila dan Ikan Lele.

Dengan modal bibit ikan yang diberikan secara gratis, terlihat anak-anak muda kampung Pahlawan sangat senang dan serius untuk membudidayakannya secara baik.

“Istilahnya kalau butuh ikan, tidak perlu lagi menjaring atau memancing tinggal ambil saja, ketika panen tiba," katanya bersemangat.

Terkait perubahan dirinya yang tidak lagi mengonsumsi narkoba dengan lantang dia menjawab "Kalau tidak sekarang kapan lagi kita berubah,” ungkapnya.

Banyak remaja terlibat narkoba. Ia juga mengaku bahwa dirinya dahulu juga pecandu narkoba.

"Saya pakai narkoba mulai sejak tamat SMA, mengisap ganja dan minuman keras. Namun Alhamdulillah saya tidak memakai sabu-sabu. Walaupun ada sebagian anggota kelompoknya yang memakai sabu-sabu, tapi sejak mereka bergabung dalam kelompok Tani Serasi dapat mengubah kebiasaan buruk itu,” jelas dia.

Ketika dalam wawancara penulis katakan ini akan dimuat ke media, tanpa disadari air matanya jatuh berlinang dan dada penulis pun terisak pilu. Penulis mengenang dan teringat kembali cita-cita almarhumah Bunda Ani (panggilan akrab istri Wabup Aceh Tamiang). Waktu itu, saat kunjungan silaturahmi ke Banda Aceh, sambil minum kopi bersama dengan timnya beliau pernah berkata dan memiliki cita-cita, untuk membangun rumah rehabilitasi bagi pemuda yang terjerat Narkoba.

Saat itu, Almarhumah sangat yakin dengan adanya program pembinaan tersebut, para pemuda akan terbebas dari kecanduan narkoba, sehingga pada akhirnya nanti dapat menjadi pemuda harapan bangsa, ‘Al-fatihah.’

Dan penulis juga melihat raut wajah Abdul Muin sedih, bicaranya terbata-bata mengenang masa lalunya yang sangat pahit. Dari bola matanya yang bening dan semangatnya berbicara tentang bertani, sejenak dia terdiam tak bisa mengeluarkan kata-kata lagi. Bicaranya pun tersendat-sendat.

Air matanya mulai menetes, ketika dia menceritakan bahwa dirinya mempunyai seorang anak, kalau kita tidak mau berubah sekarang, kapan lagi kita berubah, kata dia.

Dan bagaimana keadaan anak dan keluarga kita ke depan, katanya sambil mengusap air mata dan tatapan matanya yang kosong.

Untunglah sebagai anak paling bungsu dari tujuh bersaudara dia mendapat izin dan menetap di rumah tua yang khas adat Tamiang. Dahulunya dalam keluarga, dirinya dicap sebagai anak yang paling rusak, namun sekarang kakak dan abangnya sudah mulai percaya padanya.

Dia mengaku titik paling kritis yang menjeratnya, dialami dari tahun 2002 hingga 2004.

Sikapnya berubah total sejak ditinggalkan oleh ayahnya (2004) dan ibunda tercinta tahun 2007. Karena tidak ada lagi tempat bermanja dan mengadu ketika tertimpa persoalan dan masalah. Selama tiga bulan hidupnya saat itu terombang-ambing, kosong, dan tanpa tujuan.

Setelah dia bertemu dengan seorang ustaz dan sering mendengarkan ceramah-ceramah tentang agama, mulailah dia bangkit dari keterpurukannya. Kapan lagi kita akan berubah, ibu dan ayahmu sudah tiada, kalau tidak kita sendiri yang mengubah nasib, tidak ada orang lain yang bisa mengubahnya.

Dari sinilah, ia secara perlahan membuang kebiasaan buruknya selama ini. Dan hal itulah yang disampaikan ke teman-temannya. ”Saya bisa berubah, kenapa kalian tidak,” ungkapnya.

Untuk menghilangkan kebiasaan buruk, setiap malam semua anggotanya diajak bergabung sambil ngopi, mereka bercerita dan menyusun program untuk besok. Dan program yang tersusun, diwujudkan dengan bekerja sama dan bergotong-royong.

Sekarang, halaman rumahnya sudah penuh dengan berbagai macam sayuran dan ikan serta ternak madu, melibatkan semua anggota kelompoknya.

Walaupun hanya menamatkan sekolah melalui paket C, namun kehidupan masa lalunya jarang berada di kampung, sering bekerja ikut dengan kontraktor keliling Aceh. Pernah tertanam dalam benaknya melihat pertanian daerah lain maju, niat baiknya muncul ingin berbuat sesuatu yang terbaik di kampungnya.

“Walau sekecil apapun yang kita buat untuk kebaikan orang lain tentu pahalanya sudah tercatat. Karena sebaik-baik manusia ialah ketika kehadirannya itu bermanfaat bagi orang lain,” pungkasnya berfilosofi. (AbdA)

Keyword:


Editor :
Fira

riset-JSI
Komentar Anda