DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pimpinan Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Al Anshar yang juga Pengurus PB ISAD Aceh serta Ketua LAZISNU Aceh, Tgk. H. Akmal Abzal, S.H.I., M.H., menyoroti melemahnya rasa ukhuwah atau persaudaraan di tengah umat Islam di era digital. Menurutnya, kemajuan teknologi informasi yang seharusnya mempererat hubungan justru sering menjadi pemicu perpecahan dan kebencian di kalangan sesama muslim.
Dalam pandangannya, umat Islam kini hidup di zaman penuh ujian dan godaan. Fitnah informasi, konflik politik, serta perbedaan pandangan keagamaan yang mencuat di media sosial menjadi racun halus yang menggerus nilai persaudaraan.
“Ukhuwah yang dulu menjadi kekuatan umat kini rapuh karena ego, emosi, fanatisme kelompok, dan kepentingan sesaat. Ironisnya, ini terjadi justru di tengah kemudahan akses informasi di era digital,” ujar Tgk. Akmal kepada Dialeksis.com, Jumat (10/10/2025).
Ia mengutip sabda Rasulullah SAW yang menggambarkan umat Islam sebagai satu tubuh:
“Perumpamaan kaum mukminin dalam kasih sayang, cinta, dan simpati antara mereka bagaikan satu tubuh; jika satu anggota tubuh sakit, seluruh tubuh turut merasakan demam dan tidak bisa tidur.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Lebih jauh, Tgk. Akmal menegaskan bahwa ukhuwah bukan sekadar pilihan moral, melainkan kewajiban iman yang bersumber langsung dari ajaran Al-Qur’an.
Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10)
Menurutnya, perintah untuk berpegang teguh kepada tali Allah sebagaimana disebutkan dalam QS. Ali Imran ayat 103 merupakan fondasi kokoh bagi persatuan umat. “Ketika tali ini dilepaskan, perpecahan menjadi keniscayaan,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan sabda Nabi Muhammad SAW: “Tidaklah sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari-Muslim)
“Iman yang sejati selalu melahirkan empati dan cinta kepada sesama. Jika cinta dan empati telah pudar, berarti ada masalah pada keimanan kita,” ujar Tgk. Akmal.
Dalam pandangan Tgk. Akmal, ada tiga pilar utama yang harus diperkuat untuk mengembalikan ruh ukhuwah di tengah masyarakat modern: Ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Wathaniyah, dan Ukhuwah Insaniyah.
Pilar pertama ini, kata Tgk. Akmal, disatukan oleh kalimat tauhid Lā ilāha illallāh, Muhammadur Rasūlullāh. Ia mencontohkan bagaimana Rasulullah SAW menyatukan kaum Anshar dan Muhajirin di Madinah bukan karena darah atau suku, melainkan iman.
“Umat hari ini tidak pantas bermusuhan karena perbedaan mazhab, ormas, atau pilihan politik. Nabi menegaskan: ‘Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin lainnya selamat dari lisan dan tangannya’ (HR. Bukhari). Artinya, menjaga lisan dan tangan dari menyakiti saudara seiman adalah inti ukhuwah,” tuturnya.
Islam, lanjutnya, tidak menafikan rasa cinta tanah air. Rasulullah SAW mencintai Makkah dan Madinah, dua kota yang menjadi saksi perjuangan dakwah beliau. Dalam konteks Indonesia, ukhuwah wathaniyah berarti menjaga persatuan bangsa dan menolak segala bentuk provokasi maupun politik identitas.
“Sayangnya, semboyan hubbul wathan minal iman kini mulai pudar. Banyak yang lebih cepat percaya pada hoaks daripada menyaring informasi dengan akal dan iman,” ungkapnya prihatin.
Sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, Islam mengajarkan kasih sayang universal. Tgk. Akmal mengutip sabda Nabi Muhammad SAW: “Sayangilah siapa saja yang ada di bumi, niscaya (Allah) yang di langit akan menyayangi kalian.” (HR. Tirmidzi)
Namun di era modern, menurutnya, empati manusia justru memudar. Hubungan sosial semakin mekanis dan transaksional. “Bahkan dalam keluarga, renggang karena harta dan gengsi. Ukhuwah tidak lagi didasari niat tulus, tetapi kepentingan pragmatis. Ini sangat berbahaya,”
Menurut Tgk. Akmal, kemajuan digital semestinya menjadi sarana memperpendek jarak komunikasi dan memperkuat silaturahmi. Namun yang terjadi justru sebaliknya: ruang digital sering menjadi arena polarisasi tajam.
“Perbedaan pandangan bukan lagi dimaknai sebagai rahmat, tetapi dijadikan bahan pertikaian. Padahal Islam mengajarkan adab dalam menyikapi perbedaan,” katanya.
Ia menilai, lemahnya literasi digital umat turut memperparah keadaan. Banyak yang menyebar informasi tanpa verifikasi, hingga akhirnya memperkeruh suasana. “Kita harus kembali pada etika bermedia sosial yang Islami -- tabayyun sebelum menyebarkan,” pesan Tgk. Akmal.
Menjelang peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Tgk. Akmal mengajak seluruh umat untuk menjadikan momentum ini sebagai sarana merajut kembali ukhuwah yang retak.
“Maulid bukan sekadar seremoni, tapi momen refleksi untuk meneladani akhlak Rasulullah. Dengan kemudahan digital, kita justru diajak kembali kepada ruh Islam: menyatukan hati dengan iman, memperkuat persaudaraan dengan kasih, dan menebarkan rahmat bagi seluruh alam,” pungkasnya. [arn]