Beranda / Berita / Aceh / Tarik Ulur Bendera dan Lambang Aceh, Simak Penjelasan Ketua DPRA

Tarik Ulur Bendera dan Lambang Aceh, Simak Penjelasan Ketua DPRA

Sabtu, 15 Januari 2022 17:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Aulia

[Foto: tangkapan layar/aulia]


DIALEKSIS.COM | Aceh - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Dahlan Jamaluddin mengatakan, ada pihak-pihak yang memang mempolitisasi bendera dan lambang Aceh sehingga terjadinya polemik.

Tanggapan ini dikutip Dialeksis.com pada kanal Youtube tvriacehofficial terkait “Kepastian Hukum Qanun Bendera dan Lambang Aceh” Jumat (14/1/2022).

Seperti yang diketahui sekarang bahwa permasalahan bendera dan lambang Aceh sudah lama sekali sejak Mou Helsinki sudah diatur Undang-Undang Pemerintah Aceh tapi sampai saat ini masih tarik ulur belum bisa dikibarkan.

Ia mengatakan, sebagai kerangka sosiologis ketika gerakan Aceh merdeka bersama dengan pemerintah Republik Indonesia bersepakat untuk berdamai yang mengakhiri konflik yang panjang maka sebenarnya sampai di situ clear.

Katanya, ada satu kehendak politik perdamaian baru sebagaimana tercantum dalam Mou Helsinki seharusnya dijalankan oleh semua pihak. Di dalam perkembangannya juga diwujudkan di dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Pemerintah Aceh sebagai dasar pijakan untuk mengimplementasikan kehendak politik damai Mou Helsinki .

Kemudian di dalam UU Nomor 11 tersebut diatur tentang Aceh berhak untuk memiliki lambang dan bendera simbol keistimewaan dan kekhususan Aceh.

Karena ini perintah ini langsung memiliki regulasi UU Qanun Nomor 23 Tahun 2003 tentang Bendera dan Lambang Aceh, semua proses dalam tahapan pembuatan peraturan perundang-undangan sudah dipenuhi dan disepakati secara politik oleh eksekutif dan legislatif pada saat itu. 

“Semua bersepakat bahwa begitupun dengan lambang Aceh sebagai simbol kekhususan Aceh, proses Peraturan Perundang-Undangan sebagai proses yang sudah diamanatkan oleh berbagai regulasi sudah disepakati dan sudah ditetapkan menjadi qanun juga mendapatkan fasilitasi dari Kementrian dalam Negeri (Kemendagri) dan daerah,” ucapnya dalam diskusi tersebut.

Ketika ingin diimplementasikan inilah yang menjadi persoalan karena ada perkembangan dalam kebijakan dengan pemerintah Aceh dengan pemerintah Republik Indonesia. 

“Hal ini disebabkan ada kesepakatan kollidon yang kita kenal ranah hukum tata negara karena yang ada mekanisme pembatalan ini tidak pernah dilakukan oleh pemerintah dari evaluasi tersebut,” ujarnya.

Tidak hanya itu, prosesnya sudah sesuai dengan prosedur mekanisme Perundang-Undangan kepastian hukumnya dan sudah dilembarkan ke daerah juga, tinggal eksekutif untuk mmengimplementasikannya bentuk turunanya dengan Peraturan Gubernur (Pergub)

Namun lanjutnya, karena ada kebijakan kesepakatan politik untuk dikollidon ini yang kemudian tidak dibuka lagi, setiap tahunnya ini selalu menimbulkan polemik di publik Aceh.

“Sebenarnya tidak ada sesuatu yang ditakutkan, dikhawatirkan apalagi terus dipolemikkan seakan-akan ada masalah dengan bendera tersebut, ada pihak-pihak yang mempolitisasi ya mungkin,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda