DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal menyampaikan apresiasi khusus kepada 533 petugas kebersihan (pasukan oranye) DLHK yang setiap hari membersihkan kota sedari Subuh, bahkan saat sebagian masyarakat masih menutup mata.
“Tapi memang yang selalu saya ingatkan, kota yang bersih itu bukan kota yang rajin dibersihkan, melainkan kota yang warganya tidak membuang sampah sembarangan. Karena sejatinya kebersihan itu bagian dari iman dan kita harus mulai dari kita sendiri.”
Begitu ungkap Wali Kota Illiza dalam sharing session pada acara Sosialisasi Pemilahan Sampah dan Pencanangan Balai Penataan Bangunan Prasarana dan Kawasan (BPBPK) Aceh sebagai Wilayah Pilah Sampah, Sabtu (16/8/2025).
Dirinya mengenang kala periode pertama memimpin kota, tantangan terbesar adalah mengubah kebiasaan masyarakat yang masih membuang sampah bukan pada tempatnya dan menganggap memilah sampah itu cuma hal merepotkan saja.
“Kami meyakinkan masyarakat, kalau kita sayang kepada lingkungan, kita akan kita harus cari cara, bukan cari alasan. Jadi kita mulai dari hal yang termudah, bukan dari yang tersulit. Kalau mulai dari tersulit, nanti yang termudah pun tidak terbersihkan,” ujarnya.
Salah satu gebrakannya, yakni menginisiasi pembentukan bank sampah di setiap sekolah dan desa. “Kemudian kita mulai dari sekolah-sekolah dan kampung yang ada, kita buat bank sampah supaya semua orang melihat bahwa ini (bank sampah) punya dampak/manfaat ekonominya.”
“Bank sampah ini kita terapkan di semua sekolah dan gampong di Banda Aceh dengan konsep 3R: Reduce, Reuse, Recycle. Dan ternyata, selain mengurangi sampah pada sumbernya, bisa mendatangkan pendapatan bagi gampong, bahkan bisa membangun Musala,” ujar Illiza.
Program ini pun terus dilanjutkannya ketika mengemban amanah kembali sebagai wali kota. “Kita bisa melihat hasilnya dari Januari sampai Juni 2025 ini, kita berhasil mengurangi sampah dari sumbernya itu sekitar 13.000 ton atau 15 persen dari total rata-rata 250 ton sampah per hari yang dihasilkan Banda Aceh.”
“Meski begitu, jumlah tersebut belumlah cukup karena persoalan sampah terus bertambah. Selain itu, kapasitas tampung TPA kita di Gampong Jawa semakin terbatas sehingga sebagian sampah harus kita transfer ke TPA regional Blang Bintang,” ujar Illiza.
Oleh sebabnya, menurut Illiza yang harus dilakukan sekarang adalah revolusi pengolahan sampah. “Bayangkan kalau setiap rumah, kantor, dan sekolah bisa memilah dan mengolah sampah sendiri.”
Sampah organik misalnya bisa jadi kompos dan anorganik dapat didaur ulang dan dipakai kembali. Sementara residu yang perlu penanganan khusus karena tidak dapat terurai seperti baterai bekas, popok/pembalut, dan styrofoam.
“Maka volume sampah yang sampai ke TPA pasti akan jauh berkurang dan lingkungan kita akan lebih lestari. Lalu pembiayaan pengelolaan sampah selama ini pun nantinya bisa dialihkan untuk hal-hal lain yang lebih produktif bagi masyarakat,” ujar Illiza.
Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa Banda Aceh sudah 11 kali meraih Piala Adipura. “Namun bagi saya, penghargaan terbesar bukan piala yang ada di lemari, tapi bagaimana hari ini kita bisa melihat anak-anak ke sekolah membawa tumbler atau wadah minuman sendiri. Ini tanda bahwa kesadaran sudah mulai tumbuh sejak usia dini.”
Di samping penyediaan tong sampah berbeda untuk setiap jenis sampah, ia sudah membuat surat edaran wali kota yang mewajibkan seluruh kepala dinas hingga staf Pemko Banda Aceh untuk membawa tumbler ke kantor.
“Upaya mengurangi sampah plastik harus dimulai dari meja kerja kita sendiri, dan ASN harus menjadi contoh bagi masyarakat,” ujarnya.
Payung hukum lainnya juga telah diterbitkan Pemko Banda Aceh, di antaranya Qanun nomor 1 tahun 2017 tentang Pengelolaan Sampah, Perwal nomor 111 tentang Pembatasan Penggunaan Kantong Plastik, dan Perwal nimor 39 tentang Aplikasi e-Berindah.
“Pembatasan kantong plastik di pusat perbelanjaan mungkin awalnya terasa merepotkan, tapi ini untuk membiasakan kita beralih ke bahan yang lebih ramah lingkungan. Kita juga punya aplikasi e-Berindah, yang memudahkan warga untuk melaporkan masalah kebersihan,” ujar Illiza.
Ia pun sangat menghargai pencanangan wilayah pilah sampah di area perkantoran seperti yang dimotori oleh BPBPK Aceh. “Tadi kami diskusi dengan Bapak Kepala Balai dan berkomitmen untuk terus meluaskan wilayah pilah sampah ini ke seluruh kota.”
Wali kota perempuan pertama di Aceh ini bertekad untuk mewujudkan Banda Aceh sebagai kota bebas dari sampah dalam waktu dua tahun dari sekarang.
“Target kita di dalam perencanaan sebetulnya sangat ambisius, yaitu pada tahun 2027 Banda Aceh bebas Sampah,” kata Illiza.
Guna mencapai target tersebut, Pemko Banda Aceh akan berkolaborasi dengan semua pihak, baik dari dalam maupun luar negeri seperti Belanda, Denmark, dan Jerman.
“Kita ingin Banda Aceh menjadi seperti kota di negera maju yang mampu menerapkan konsep pengelolaan sampah berbasis ekonomi sirkular.”
“Hal ini sebenarnya sudah kita mulai dulu dengan menghasilkan energi listrik dari gas metan dan bisa menyuplai ratusan rumah warga di seputaran TPA Gampong Jawa. Sayangnya, berganti pimpinan berganti pula kebijakan dan itu tidak dilanjutkan lagi,” sebut Illiza.
Ke depan, konsep ini akan diterapkan pemko untuk mengubah sampah menjadi sumber daya yang bernilai ekonomi, mengurangi dampak lingkungan, dan menciptakan nilai tambah bagi masyarakat.
“Insyaallah, dengan semangat kolaborasi, kita akan mampu mewujudkan Banda Aceh bebas Sampah 2027,” demikian Illiza menutup presentasinya.
Sosialisasi Pemilahan Sampah dan Pencanangan Balai Penataan Bangunan Prasarana dan Kawasan (BPBPK) Aceh sebagai Wilayah Pilah Sampah turut dihadiri oleh Kadis LHK Aceh, A Hanan; Staf Ahli Bupati Aceh Besar Bidang Perekonomian Keuangan dan Pembangunan, Makmun; Kepala BPBPK Aceh, Tommy Permadhi; dan sejumlah pejabat lainnya. [*]