kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Syahidin Dosen UGP: Pemilik Ijazah Palsu Hanya Korban Tidak Bisa Dihukum

Syahidin Dosen UGP: Pemilik Ijazah Palsu Hanya Korban Tidak Bisa Dihukum

Sabtu, 30 Januari 2021 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM| Takengon- Dosen Universitas Fajah Putih Takengon, Syahidin S.E., M. Si., C.SLHF., C.LMA., C.BPA. memberikan statemen soal ijazah palsu yang terjadi di Bener Meriah, dimana kini diramaikan publik.

Menurut akademisi ini, Ijazah palsu bukan hal yang baru di Indonesia. Baru-baru ini publik dikejutkan dengan sebuah kasus yang melibatkan Aparatur Kampung di Kabupaten Aceh Tengah, soal ijazah palsu.

Syaidin yang memberi penjelaskan kepada Dialeksis.com, Sabtu (30/1/2021) menyebutkan, publik memberikan penilaian beragam. Bukan hanya pembuat ijazah palsu yang harus dihukum, namun pemegang ijazah juga harus dihukum.

“Saya pikir ini sedikit tidak masuk akal bagi yang menuntut bahwa pemilik Ijazah juga harus dihukum, namanya juga korban menurut kita apakah pantas dihukum seseorang berstatus korban,” tanya akademisi ini.

Menurutnya yang pantas itu dihukum adalah orang yang mengorbankan orang lain, bukan orang yang dikorbankan. Dia berkeyakinan, korban dari pemalsuan Ijazah ini sama sekali tidak mengetahui bahwa Ijazah yang dia gunakan selama ini tidak asli.

“Mungkin kalau adapun transaksi jual beli pastinya pihak pembuat Ijazah sudah menjanjikan bahwa Ijazah yang akan dicetak atau dibuat benar-benar diakui keabsahannya. Makanya terjadilah transaksi. Kalau seandainya mereka yang menjadi korban sudah mengetahui lebih awal bahwa Ijazah itu palsu pastinya tidak ada kesepakatan membeli,” jelasnya.

Ada yang memberi pendapat, sebut Syahidin, terjadinya transaksi jual beli Ijazah dikarenakan untuk mendapatkan jabatan di desa-desa, menurutnya ini salah. Mereka terpaksa harus memiliki Ijazah sesuai tuntutan regulasi yang berlaku saat ini.

Karena, jelasnya, pengganti mereka di desa betul-betul tidak ada yang bisa menggantikannya. Wajar saja mereka harus bersusah payah mendapatkan pengakuan pendidikan sesuai dengan persyaratan yang harus dipenuhi. Mereka harus memiliki Ijazah dalam arti kata mereka juga tidak mau Ijazahnya bermasalah.

Dijelaskan Syahidin, Korban Ijazah ini sangat kuat posisinya dimata hukum. Mereka juga berhak menuntut pembuat Ijazah, karena sebelumnya ditawarkan Ijazah yang terdaftar dan asli.

Ternyata realitasnya berbeda dengan yang dijanjikan. Ini sama saja mereka yang menjadi korban dibohongi dan dimanfaatkan. Jadi tidak rasional korban itu dihukum, mana ada korban pelecehan dihukum negara, yang sepantasnya dihukum adalah pelaku dari pelecehan tersebut.

“Ada juga orang seolah-olah melihat Ijazah yang didapatkan melalui Paket A, B dan C dinilai sedikit sinis atau tidak berkualitas. Karena cara mendapatkannya sebagian tidak melalui proses sekolah melainkan langsung ujian akhir sekolah,” sebut warga asal Linge, Aceh Tengah ini.

“Kalau kita lihat dari Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, paket A, B dan C dianggap setara dengan pendidikan formal. Sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 13 Ayat 1 jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal dan nonformal,” sebutnya.

Kemudian, tambhanya, Pasal 17 dan 18 menyatakan bahwa pendidikan yang sederajat dengan SD/MI adalah program paket A dan yang sederajat dengan SMP/MTs adalah program paket B sedangkan pendidikan yang sederajat dengan SMA/MA adalah program paket C.

Pasal ini menegaskan, bahwa Pasal 26 Ayat 6 hasil pendidikan non formal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal, setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah.

Setiap peserta didik yang lulus ujian program Paket A, B dan C mempunyai hak eligibilitas yang sama dan setara dengan pemegang Ijazah SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA. Mereka punya hak untuk mendaftar pada satuan pendidikan yang lebih tinggi.

“Oleh karena itu saya pikir tidak wajar kita menilai orang-orang yang mendapatkan Ijazah program paket ini kita lihat sebelah mata. Karena kualitas manusia itu bukan hanya dilihat dari seberapa tinggi pendidikannya,” sebut dosen ini.

Menurutnya, banyak orang yang berpendidikan tinggipun sampai S-3, namun kualitasnya dirinya sama sekali tidak ada. Justru karena itu jangan terlalu cepat menilai orang lain boleh jadi orang yang tidak berpendidkan lebih berkualitas daripada kita, sebutnya. (baga)


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda