DIALEKSIS.COM | Aceh - Surat resmi Gubernur Aceh, Muzakir Manaf alias Mualem, kepada Gubernur Massachusetts dan Pemerintah Kota Salem, Amerika Serikat, menuai respons positif dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari akademisi dan antropolog Aceh, Reza Idria, MA, Ph.D., dosen UIN Ar-Raniry dan alumnus Harvard University.
Dalam keterangannya yang diminta khusus Dialeksis, Jumat (19/7/2025), Reza menyambut dengan hormat langkah Gubernur Mualem yang menyurati Pemerintah Kota Salem untuk menyerukan agar figur orang Aceh dalam lambang resmi kota itu tetap dipertahankan. Menurutnya, inisiatif tersebut bukan hanya mencerminkan kepedulian Pemerintah Aceh terhadap sejarah, tetapi juga menjadi bentuk diplomasi budaya yang penting di era globalisasi saat ini.
“Surat tersebut bukan hanya mencerminkan kepedulian Pemerintah Aceh terhadap warisan sejarah bersama, tetapi juga merupakan langkah diplomatik penting dalam menjaga dan merawat hubungan lintas budaya yang telah terjalin sejak abad ke - 17,” ujar Reza kepada Dialeksis.
Reza, yang aktif dalam forum-forum internasional, juga menyampaikan bahwa dirinya bersama beberapa warga Aceh lainnya telah berpartisipasi secara daring dalam sesi public hearing yang digelar oleh Salem City Seal Task Force. Dalam forum itu, mereka menyampaikan pandangan agar figur orang Aceh dalam lambang kota Salem tidak dihapuskan.
Ia memahami bahwa perdebatan ini berangkat dari sensitivitas sejarah rasialisme di Amerika Serikat, namun menurutnya, konteks sejarah hubungan Aceh dan Salem sangat berbeda dari kasus-kasus perbudakan atau kolonialisme. “Simbol itu tidak lahir dari hubungan eksploitatif, tetapi dari hubungan dagang yang setara dan saling menghormati,” jelas Reza.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada abad ke - 18, kota Salem merupakan salah satu pelabuhan dagang penting di Amerika yang menjalin hubungan langsung dengan Kesultanan Aceh. Komoditas utama dalam hubungan itu adalah lada, yang pada masa itu menjadi komoditas unggulan Aceh dan sangat dicari di pasar internasional, termasuk oleh para pedagang Salem.
“Figur orang Aceh dalam lambang kota Salem adalah simbol pengingat masa perdagangan global yang damai, yang terjadi bahkan sebelum terbentuknya negara modern seperti Amerika Serikat atau Indonesia. Ini bukan simbol kolonialisme, tapi penanda kehormatan dan keterhubungan lintas samudra,” kata Reza.
Ia menambahkan, “Bagi masyarakat Aceh, lambang itu bukanlah warisan penindasan, melainkan kebanggaan sejarah. Kita justru perlu merawatnya sebagai bukti bahwa Aceh pernah menjadi bagian penting dari jaringan perdagangan internasional.”
Reza mengakui bahwa terdapat suara-suara di Salem yang mengusulkan penghapusan lambang tersebut sebagai bentuk kehati-hatian terhadap simbol-simbol yang mungkin menyinggung sensitivitas rasial. Namun, menurutnya, pendekatan yang diambil seharusnya bukan dengan menghapus sejarah, tetapi dengan membuka ruang dialog yang jujur dan setara.
“Pemerintah Kota Salem perlu melibatkan semua pihak, termasuk komunitas Aceh yang memiliki keterhubungan langsung dengan simbol itu. Jangan sampai semangat menghapus luka sejarah justru mengorbankan catatan sejarah lain yang bernilai positif dan humanis,” tegas Reza.
Dalam pandangan Reza, surat dari Gubernur Mualem juga dapat menjadi refleksi penting bagi generasi muda Aceh tentang betapa panjang dan dalamnya akar interaksi global yang pernah dimiliki Aceh. Di saat banyak wilayah dunia masih terisolasi, Aceh telah membuka diri dan menjalin hubungan yang setara dengan bangsa lain.
“Surat ini bukan hanya berbicara pada masa lalu, tetapi juga membuka peluang masa depan. Hubungan budaya dan perdagangan antara Aceh dan Salem bisa dihidupkan kembali, apalagi mengingat sejarah solidaritas masyarakat Salem terhadap Aceh, seperti saat tsunami 2004,” ujarnya.
Ia pun berharap agar Pemerintah Kota Salem mempertimbangkan surat Gubernur Aceh secara serius dan menjadikannya momentum untuk memperkuat kembali ikatan budaya dan sejarah antara kedua wilayah.
“Ini adalah peluang untuk membangun jembatan antarbangsa, bukan sekadar menyelamatkan satu simbol. Tapi menyelamatkan sebuah narasi damai, setara, dan saling menghargai yang telah berlangsung selama berabad-abad,” pungkas Reza Idria aktivis kebudayaan ini.