DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Koordinator Masyarakat Anti Hoaks Aceh (MAHA), Riski Amanda mengatakan momen Hari Sumpah Pemuda 2025 menjadi ajakan reflektif bagi generasi muda untuk menjaga kebenaran di era digital yang serba cepat.
Menurut Riski, tantangan anak muda masa kini jauh berbeda dengan para pemuda 1928 yang memperjuangkan persatuan melalui bahasa dan semangat kebangsaan.
"Kalau dulu tantangannya adalah kolonialisme dan perpecahan, sekarang tantangan kita adalah melawan kolonialisasi digital berupa penyebaran hoaks, misinformasi, dan ujaran kebencian yang bisa memecah belah bangsa,” ujarnya kepada media dialeksis.com, Selasa (28/10/2025).
Ia menekankan pentingnya generasi muda Aceh memiliki kemampuan literasi digital yang baik agar tidak mudah terpengaruh oleh informasi palsu yang berseliweran di media sosial.
"Anak muda Aceh harus jadi benteng kebenaran, bukan justru penyebar ketakutan dan kebencian. Literasi digital itu bukan sekadar bisa main media sosial, tapi juga tahu cara memverifikasi informasi, mengenali sumber yang kredibel, dan berpikir kritis,” tegasnya.
Sebagai Koordinator MAHA, Riski menilai bahwa Sumpah Pemuda memiliki relevansi kuat dengan perjuangan melawan hoaks. Semangat persatuan yang terkandung dalam ikrar bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu harus diterjemahkan ke dalam konteks zaman kini yaitu menjaga ruang digital yang bersih dan beradab.
“Di era digital ini, sumpah pemuda seharusnya bermakna satu kebenaran, satu integritas, dan satu tanggung jawab bersama dalam bermedia. Karena setiap unggahan yang kita buat bisa berpengaruh besar terhadap opini publik dan kohesi sosial,” ujarnya.
Riski menilai bahwa Aceh, sebagai daerah dengan identitas religius dan budaya yang kuat, memiliki potensi besar untuk menjadi contoh nasional dalam gerakan anti-hoaks berbasis nilai-nilai moral dan keislaman.
Ia juga mengingatkan bahwa banyak konflik sosial dan kegaduhan politik yang muncul di Aceh berawal dari penyebaran kabar bohong. Karena itu, menurutnya, penting bagi komunitas, pelajar, dan mahasiswa untuk bersama-sama memperkuat edukasi digital.
“Hoaks itu tidak hanya menyesatkan, tapi juga bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, ulama, dan antar kelompok. Ini bahaya laten yang harus kita lawan dengan pengetahuan dan kebersamaan,” tambahnya.
MAHA Aceh sendiri selama ini aktif menggelar pelatihan dan diskusi publik terkait verifikasi fakta dan etika digital, terutama di kalangan siswa dan mahasiswa.
Riski menyebut, banyak anak muda di Aceh yang kini mulai sadar pentingnya menjadi pengguna media yang cerdas dan kritis.
“Ini perkembangan positif. Kita harapkan momentum Sumpah Pemuda tahun ini bisa memperkuat semangat itu, agar generasi muda Aceh tidak hanya bangga dengan sejarahnya, tapi juga mampu beradaptasi dengan tantangan zaman,” tutupnya. [nh]