Beranda / Berita / Aceh / Soal Lahan 22.000 Ha, Bagaimana Nasib Eks Kombatan GAM di Luar Aceh Timur?

Soal Lahan 22.000 Ha, Bagaimana Nasib Eks Kombatan GAM di Luar Aceh Timur?

Minggu, 18 Agustus 2024 17:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Mukhlis Akbar, seorang Mahasiswa Pecinta Alam dan alumni Ilmu Politik UIN Ar-Raniry 2015. Dokumen untuk dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - 19 tahun setelah penandatanganan MoU Helsinki, mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang tersebar di seluruh Aceh masih menghadapi tantangan ekonomi yang signifikan. 

Meski ada yang telah mencapai taraf hidup yang lebih baik, banyak lainnya tetap berada di bawah garis kemiskinan, dengan akses lapangan kerja yang terbatas.

Salah satu poin penting dalam MoU Helsinki yang hingga kini belum terealisasi sepenuhnya adalah penyediaan lahan bagi mantan kombatan GAM. 

Pemerintah Provinsi Aceh bersama Kementerian ATR/BPN telah mengusulkan pembebasan lahan seluas 22.000 hektar di Kabupaten Aceh Timur sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN). 

Tujuannya adalah untuk memberikan kesejahteraan bagi mantan kombatan dan keluarga mereka, serta janda dan anak-anak korban konflik.

Namun, Mukhlis Akbar, seorang Mahasiswa Pecinta Alam dan alumni Ilmu Politik UIN Ar-Raniry 2015, mengungkapkan kekhawatiran terkait distribusi lahan yang hanya berfokus pada satu wilayah saja, yaitu Aceh Timur. 

Menurut Mukhlis, keputusan ini dapat menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan mantan kombatan yang tersebar di luar Aceh Timur. 

“Bagaimana dengan nasib para mantan kombatan di wilayah Aceh selain di Aceh Timur? Apakah mereka harus pindah dari tempat mereka ke Aceh Timur demi mendapatkan tanah bagian mereka yang akan diberikan untuk digarap dengan akses yang sangat jauh?” kata Mukhlis kepada Dialeksis.com, Minggu, 18 Agustus 2024.

Ia menekankan bahwa seluruh mantan kombatan GAM seharusnya mendapatkan hak yang sama, tanpa memandang lokasi mereka saat ini.

Lebih lanjut, Mukhlis mengungkapkan keprihatinannya terhadap dampak lingkungan dari pembukaan lahan di wilayah hutan Aceh Timur yang masih kaya akan satwa liar. 

“Lokasi yang ditentukan masih memiliki tutupan hutan yang bagus dan menjadi habitat bagi beberapa satwa yang dilindungi. Pembukaan lahan di wilayah ini bisa memperparah konflik antara manusia dan satwa liar, seperti gajah, yang sudah sering terjadi di wilayah tersebut,” tambahnya.

Sementara itu, Ketua Yayasan Konservasi Alam Timur Aceh (YAKATA), Zamzami Ali, juga mengungkapkan kekhawatiran serupa. 

Menurutnya, rencana pembebasan lahan seluas 22.000 hektar di Kecamatan Peunaron, Ranto Peureulak, Banda Alam, dan Pante Bidari, harus menjadi perhatian serius pemerintah karena wilayah tersebut merupakan habitat ratusan ekor gajah liar. 

"Bagaimana jika wilayah ini rusak akibat pembukaan lahan untuk kombatan? Konflik antara manusia dan satwa liar akan semakin sering terjadi dan korban jiwa mungkin tak bisa dihindari lagi," ujar Zamzami dalam keterangannya pada 7 Agustus 2024 lalu.

Selain risiko konflik satwa, pembukaan lahan di Aceh Timur juga berpotensi memperparah bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan tanah longsor. 

"Aceh Timur dikenal sebagai wilayah rawan banjir. Pembukaan 22.000 hektar lahan bisa memperparah kerusakan hutan yang sudah ada, dan ini harus dipertimbangkan dengan matang," tambah Mukhlis.

Ia menekankan bahwa niat baik pemerintah untuk mensejahterakan mantan kombatan melalui pembukaan lahan harus dilakukan dengan bijaksana, mempertimbangkan keseimbangan antara aspek ekonomi dan ekologi. 

Mengutip firman Allah SWT dalam Al-Qur’an: "Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik." (QS Al-A'raf: 56). 

Firman ini, menurut Mukhlis, harus menjadi pedoman dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah, terutama terkait pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan adil bagi seluruh rakyat Aceh.

"Terkadang niat yang baik, jika dilakukan tanpa pertimbangan yang matang, justru akan mendatangkan malapetaka bagi kita sendiri. Hutan yang rusak akan menyebabkan bencana, dan kita harus bijak dalam mengambil keputusan yang tidak bertentangan dengan nilai Syariat Islam," pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

kip
riset-JSI
Komentar Anda