Soal Bendera dan Forbes DPR RI, Jubir PA: Irmawan Meludah Muka Sendiri
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Juru Bicara (Jubir) Dewan Pimpinan Aceh (DPA) Partai Aceh (PA) Muhammad Saleh atau akrab disapa Shaleh menilai anggota DPR RI Fraksi PKB asal Dapil I Aceh Irmawan masih gagal paham terhadap butir-butir MoU Helsinki dan kekhususan Aceh yang tertuang dalam UU No:11/2006, tentang Pemerintah Aceh serta fungsi maupun perannya sebagai wakil rakyat Aceh di DPR RI.
"Pendapatnya sangat tendensius, kontra produktif dan gagal paham. Dia telah meludah ke mukanya sendiri," kata Shaleh, Jumat (25/10/2019) di Banda Aceh, dalam keterangan resminya yang diterima Dialeksis.com, Jumat.
Shaleh menyampaikan hal tersebut menanggapi pendapat Irmawan terkait Bendera Aceh dan keberadaan Forum Bersama (Forbes) anggota DPR RI asal Aceh.
Itu disampaikan Irmawan saat bersilaturrahmi dengan jajaran Redaksi Harian Serambi Indonesia, Desa Meunasah Manyang, Pagar Air, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, Jumat (25/10/2019).
Kata Irmawan: "Kalau persoalan bendera, mohon maaf ya, tidak ada relevansinya bendera ini dengan kesejahteraan masyarakat," katanya, meniru statement Irmawan.
Selain itu, Irmawan mengakui keberadaan Forbes anggota DPR RI asal Aceh periode lalu tidak ada gaungnya. Padahal, Forbes merupakan perpanjangan tangan rakyat.
Tapi jika Forbes hanya mengurus masalah subjektif seperti bendera, Irmawan mengatakan tidak sepakat. Karena itu, untuk lima tahun ke depan dirinya akan fokus pada pembangunan.
Karena itulah, Jubir PA menilai, Irmawan telah gagal paham serta meludah mukanya sendiri. "Seolah-olah persoalan Aceh hari ini hanya bendera," tegasnya.
Menurut Shaleh, harusnya Irmawan mengerti bahwa persoalan bendera adalah konstitusional dan dilindungi undang-undang serta diputus bersama di parlemen Aceh. Termasuk politisi dari PKB.
"Soal belum ada kata sepakat antara Aceh dan Jakarta, harusnya sebagai anggota DPR RI asal Aceh, dia menjadi arif dan bijaksana serta berada di garda terdepan untuk mencari solusi dan jalan penyelesaian terbaik," kritiknya.
Itu sebabnya, Shaleh menilai Irmawan terjebak pada pemikirannya sendiri dan terkesan menutupi kelemahan dari kinerjanya lima tahun (periode) lalu untuk Aceh. Sebab, dia juga anggota DPR RI yang tergabung dalam Forbes.
"Apakah dana Otsus dan kewenangan lain yang kini dinikmati rakyat Aceh hasil perjuangan Irmawan atau jatuh dari langit, tanpa ada peran dan perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sebagai bagian dari kesepakatan damai dengan Pemerintah Indonesia," gugat Shaleh.
Andai pun Irmawan alergi dan ingin membunuh karakter Partai Aceh (PA) karena memperjuangkan Bendera Aceh, sebut Shaleh, harusnya dia menempuh dengan cara yang lebih elegan dan cerdas.
"Apa yang telah dia lakukan selama lima tahun. Apakah ikut berperan menyelesaikan 10 kewenangan Aceh yang tertuang dalam UUPA dan hingga kini masih tertunda seperti; tapal batas wilayah Aceh-Sumatera Utara, Badan Pertanahan Aceh (BPA) maupun kewenangan lainnya."
Karena itulah sebut Shaleh, apa yang disampaikan Irmawan tak lebih sebagai pengalihan isu terhadap lemahnya peran dan funsi sebagai anggota DPR RI asal Aceh, selama lima tahun (periode) lalu.
Terkait soal bendera Aceh. Kata Shaleh, Irmawan jangan semata-mata menilai dalam kalkulasi angka-angka dalam bentuk anggaran. Tapi, spirit damai yang kini telah tercipta di Aceh.
"Apakah perdamaian yang kini sudah tercipta di Aceh tidak menjadi modal utama dan dasar menuju kesejahteraan rakyat Aceh. Dan, andai tak ada perdamaian antara GAM dengan Pemerintah Indonesia, apakah pembangunan Aceh dapat berjalan normal."
Jadi ujar Shaleh, framing Irmawan sangat tendensius dan terkesan "membunuh karakter" Partai Aceh umumnya dan Komite Peralihan Aceh (KPA) khususnya.
Menurutnya, Irmawan juga berusaha untuk melokalisir perjuangan rakyat Aceh melalui parlemen Aceh, yang seolah-olah hanya berkutat pada masalah bendera.
"Qanun Bendera dan Lambang Aceh memiliki kekuatan hukum sama dengan Qanun Aceh lainnya dan diputuskan secara bersama oleh politisi partai politik nasional dan partai politik lokal di DPR Aceh, kenapa baru saat ini dipersoalkan," pungkasnya.(me/rel)