DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Aksi kekerasan dan kericuhan yang terjadi antara aparat gabungan dan massa rombongan dari arah Pidie yang hendak mengantarkan bantuan kemanusiaan ke Aceh Tamiang menuai penyesalan dan kritik dari berbagai pihak.
Insiden yang terjadi sejak semalam hingga kemarin itu dinilai mencederai semangat kemanusiaan serta membuka kembali luka lama terkait persoalan identitas Aceh.
Pemuda Barat Selatan, Fawazul Alwy, menyatakan sangat menyayangkan peristiwa tersebut. Menurutnya, rombongan masyarakat yang bergerak membawa bantuan seharusnya dilindungi dan difasilitasi, bukan justru dihadapkan pada tindakan represif yang berujung ricuh.
“Saya sangat menyayangkan apa yang terjadi semalam dan kemarin, yaitu aksi kekerasan dan kericuhan antara aparat gabungan dengan massa rombongan dari arah Pidie yang akan membawa bantuan ke Aceh Tamiang,” kata Fawazul saat dimintai keterangan oleh media dialeksis.com, Jumat (26/12/2025).
Ia menilai, dalam situasi bencana dan krisis kemanusiaan, pendekatan keamanan yang keras justru kontraproduktif dan berpotensi memicu ketegangan sosial yang lebih luas.
Lebih jauh, Fawazul menyoroti bahwa salah satu pemicu ketegangan di lapangan berkaitan dengan persoalan bendera Aceh, isu lama yang hingga kini belum menemukan penyelesaian tuntas antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat.
“Mengenai hal bendera, saya termasuk yang tetap bersikeras mempertahankan apa yang sudah disepakati dalam MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh, tentang diperbolehkannya Aceh memiliki bendera, lambang, dan hymne sendiri,” tegasnya.
Fawazul mengingatkan bahwa pada tahun 2013 lalu, DPR Aceh bersama Gubernur Aceh saat itu, dr. Zaini Abdullah, telah mengesahkan Qanun tentang Bendera dan Lambang Aceh.
Namun, qanun tersebut dipertentangkan oleh Kementerian Dalam Negeri karena dianggap menyerupai bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Menurutnya, Pemerintah Pusat memang memiliki dasar hukum dalam menyikapi persoalan ini, salah satunya merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2007 yang melarang penggunaan simbol yang menyerupai lambang gerakan separatis. Namun, ia menilai aturan tersebut lahir dalam konteks yang sarat kecurigaan terhadap Aceh.
“PP 77 Tahun 2007 ini menurut saya menjadi tanda bahwa Pemerintah RI pada saat itu masih curiga terhadap Aceh, yang baru dua tahun menikmati masa perdamaian,” ujarnya.
Dalam perspektif antropologi politik, Fawazul memandang polemik berkepanjangan soal bendera justru memperkuat makna simbolik bendera Aceh sebagai lambang perlawanan.
“Sampai kiamat pun, kalau bendera Aceh masih dipertentangkan, bendera itu akan tetap eksis sampai kiamat juga dan akan terus disakralkan sebagai bendera perlawanan,” katanya.
Namun, ia menilai situasi akan sangat berbeda jika Pemerintah Pusat bersikap lebih terbuka dan memberi ruang kebebasan terhadap eksistensi bendera Aceh, sebagaimana yang dilakukan pemerintah Filipina terhadap bendera Bangsa Moro.
“Kalau pemerintah memberi kebebasan, euforia sakral dan jiwa perlawanan terhadap bendera itu hanya bertahan dua sampai tiga tahun saja. Setelah itu, masyarakat akan menganggap bendera Aceh sebagai bendera identitas daerah, sama seperti Merah Putih sebagai bendera negara,” jelasnya.
Fawazul juga menegaskan bahwa pengakuan terhadap simbol identitas daerah justru berpotensi menurunkan gejolak separatisme dan meningkatkan kepercayaan publik Aceh terhadap Pemerintah Republik Indonesia.
“Saya mengamati, ketika bendera Aceh tidak lagi dianggap tabu atau momok menakutkan, justru gejolak separatisme menurun. Persatuan dan kepercayaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat semakin tinggi,” katanya.
Menurutnya, bendera bukan sekadar kain atau simbol politik, melainkan representasi identitas dan sejarah suatu bangsa.
Aceh, kata dia, adalah bangsa yang pernah berdiri megah dan mandiri sebelum dengan ikhlas bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Kalau bendera Aceh sah dan tidak dipertentangkan lagi, rakyat Aceh akan menganggapnya sebagai bendera identitas daerah yang berdampingan dengan Merah Putih sebagai simbol negara tertinggi, bukan lagi sebagai bendera pemberontakan,” tegasnya.
Sebaliknya, kondisi saat ini justru membuat sebagian masyarakat enggan menyandingkan bendera Aceh dengan Merah Putih, karena bendera Aceh masih dimaknai sebagai simbol perlawanan atas ketidakamanahan pemerintah dalam merealisasikan janji-janji perdamaian.
“Orang Aceh itu setia, loyal, dan berani, selama identitas dan harga dirinya tidak diusik. Jika Indonesia tidak lagi curiga dan memberikan hak atas bendera Aceh, justru orang Aceh akan menjadi pihak yang paling berani dan loyal dalam NKRI,” pungkas Fawazul. [nh]