Sisa Tahun Otsus Aceh Mau Dibawa Kemana?
Font: Ukuran: - +
Reporter : fatur
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEBI) Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh yang juga Ahli Akuntansi Nasional, Dr. Syukriy Abdullah, SE., MSi., Ak. [Foto: Istimewa]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dana Otonomi khusus (Otsus) Aceh kini masuk dalam masa transisi menuju penerimaan Otsus Aceh diangka 1 persen. Otsus Aceh saat ini menerima di angka 2 persen sampai tahun 2023.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEBI) Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, Dr. Syukriy Abdullah, SE., MSi., Ak. mengatakan, Ostus dimasa PJ itu mau dibawa kemana? Itu yang menjadi pertanyaan kita sampai hari ini.
“Jadi daerah itu sebenarnya sedang menyusun dokumen rencana pembangunan daerah, untuk menyiapkan konsep RPJM dimasa transisi yang tidak melalui proses Pilkada, sehingga PJ nanti itu punya pedoman untuk bekerja selama kepala daerah secara definitif,” ucapnya kepada Dialeksis.com, Senin (14/2/2022).
Karena Aceh punya Otsus, Dr Syukriy mengatakan, pertanyaan dalam hal ini, apakah Pergub yang ada sekarang tetap dianggap sesuai dengan apa yang akan dilaksanakan oleh PJ nantinya.
“Karena Pergub yang diterapkan saat ini itu dimasa pejabat yang dipilih dimasa Pilkada, sehingga dalam hal ini juga terdapat kepentingan politiknya, ada kepentingan birokrasinya, ada juga kepentingan lainnya oleh banyak pihak dalam hal ini stakeholder, termasuk DPRA dan Pemda Kab/Kota, walaupun kemudian menjadi sebuah persoalan karena dianggap bisa saja terjadi ruang praktek korupsi,” Kata Dr Syukriy yang juga Ahli Akuntansi Nasional.
Lanjutnya, Dirinya menjelaskan, ketika itu menjadi masalah, secara Pergub terhadap Otsus (DOKA) maka secara nyata perlu direvisi lagi.
“Karena Gubernur Aceh dipilih secara Pilkada, sedangkan PJ itu tidak, karena tidak ada kepentingan politik, maka prioritasnya akan berbeda,” sebutnya.
Karena perbedaan itu, kata Dr Syukriy, BAPPEDA saat ini sedang menyusun Rencana Pembangunan Daerah yang netral dimana tidak ada muatan politik.
“Kalaupun ada muatan politiknya maka itu sudah disaring, karena muatan politik itu ada politik lokal dan pusat,” tambahnya.
Lanjutnya, karena kebijakan desentralisasi fiskal ini juga sangat dipengaruhi oleh politik pusat. Sedangkan, daerah sendiri tidak hanya mendapatkan Otsus saja, tapi ada DAU, DAK, DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran).
“Berhubung saat ini juga tengah Covid-19 atau Pandemi, DAU dan DAK ini tidak dapat dipastikan angkanya berapa, karena pemerintah pusat memotong jatah daerah,” tambahnya.
Kemudian, Dr Syukriy menjelaskan, jadi untuk Otsus, setelah adanya dokumen Rencana Pembangunan Daerah untuk masa transisi ini, maka akan ada juga Pergub yang lebih spesifik dalam pengelolaan dana Otsus.
Selama ini, kata Dr Syukriy, yang menjadi perdebatan terhadap Otsus itu adalah pembagian porsinya. Namun, ini semua kembali kepada terhadap kewenangan dalam pengelolaan, apakah dalam hal ini Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota.
“Dan ini masih menjadi perdebatan, ada yang beranggapan bahwa dana Otsus ini miliknya Provinsi, maka Provinsi yang mengatur, sementara secara struktur desentralisasi fiskal Provinsi hanya bisa mempengaruhi kebijakan Kabupaten/Kota terkait dana bagi hasil, kemudian bantuan keuangan, Setalah itu, proses evaluasi, tetapi evaluasi ini lebih kepada teknis,” sebutnya.
Kemudian, ketika Otsus itu dipersepsikan ada di Provinsi, maka dianggap Provinsilah yang mengatur berapa jatah Kabupaten/Kota.
“Persoalannya kemudian, karena Provinsi yang mengelola lebih banyak dalam konteks kebijakannya, maka Kabupaten/Kota kecewa atau tidak puas. Karena, Kab/Kota menilai banyak proyek dari Provinsi itu tidak efektif, tidak efesien, dan tidak mencapai target yang dibutuhkan oleh daerah sendiri, dan kita juga tidak bisa menapik bahwa banyak sekali calo-calo yang bermain disitu,” jelasnya.
Kemudian, Dr Syukriy, dalam hal ini kita bisa menilai bahwa Provinsi tidak serius dalam mengelola dana Otsus. “Ketidakseriusan ini nampak karena tidak adanya sebuah kajian atau blue print, yang memang mengurusi Otsus,” tukasnya.
Dr Syukriy menyebutkan, Otsus Aceh mencapai angka Triliunan, namun, tidak ada tim yang secara khusus mengurusi hal itu.
“Tim tersebut yang dimaksud terdiri dari akademisi, konsultan independent atau dari birokrat yang kemudian, khusus mempelajari Otsus itu, menilai kebijakan, membuat FGD, membuat kajian, seminar, atau mempelajari semua perkembangan yang terkait dengan Otsus. Sehingga, aturan otsus itu bisa berubah seharusnya, sesuai dengan masukan-masukan dari semua pihak, terutama dari Pemerintah Daerah,” katanya.
Jadi karena tidak adanya tim tersebut, kata Dr Syukriy, bisa dinilai bahwa pemerintah tidak serius dalam mengelola dana Otsus.
“Oleh karena itu, butuh sebuah tim khusus dalam mengurusi dana Otsus itu sendiri. Padahal, banyak sekali orang yang bisa dilibatkan untuk membuat konsep dalam pengelolaan dana Otsus, sehingga, apa yang terjadi dilapangan bisa diikuti secara terus menerus, sehingga Trial dan Error itu tidak ada, kenapa begitu? Karena hal tersebut sudah dibuat atau dikonsepkan oleh orang-orang yang paham akan konsep, analisa, kajian, kebijakan, perencanaan, keuangan, dan sebagainya,” pungkasnya. [ftr]