Sejarah Perjuangan Mr. Syafruddin Prawiranegara dan PDRI di Tanoh Gayo Diseminarkan
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Takengon - Salah satu agenda Pekan Tilawatil Qur’an (PTQ) Nasional RRI ke 52 di Takengon adalah Seminar Nasional tentang Jejak Sejarah Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di bawah pimpinan Mr. Syafruddin Prawiranegara, yang pernah mengendalikan pemerintahan darurat negeri ini dari daerah pedalaman Gayo Aceh Tengah.
Seminar bertajuk “Eksistensi Republik Indonesia Di Tangan Syafruddin Prawiranegara Berjuang Mengawal Kedaulatan RI Di Tanoh Gayo” ini digelar Sabtu (16/4/2022) bertempat di Hotel Parkside Gayo, Takengon.
Seminar ini menghadirkan narasumber nasional antara lain Prof. Dr. H. Taufiq Ismail, MA, Sejarawan dan Budayawan Nasional, Prof. Dr. H.M. Dien Madjid, Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Anhar Gonggong, MA, Sejarawan Nasional dan Dosen UI, serta pengamat sejarah dan budaya dari Gayo, Drs. Ibnu Hajar Laut Tawar dan Ir. Tagore Abubakar.
Dua nara sumber nasional yakni Taufik Ismail dan Dien Madjid telah hadir di Takengon untuk menyampaikan materi secara langsung dalam seminar ini, sementara seorang nara sumber, Anhar Gonggong akan menyampaikan materinya secara virtual dari Jakarta.
Ketua Panitia Seminar, Aulia Putra yang juga Kadis Sosial Kabupaten Aceh Tengah, menyampaikan terima kasih kepada RRI yang telah berkenan memfasilitasi penyelenggaraan seminar nasional ini.
"Seminar ini sangat penting untuk mengungkap fakta sejarah tentang peran Gayo dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia," jelas Aulia.
Sementara itu Bupati Aceh Tengah, Shabela Abubakar dalam sambutannya ketika membuka seminar ini menyampaikan bahwa fakta sejarah tidak dapat dipungkiri.
“Sampai sekarang bekas tempat tinggal yang dijadikan markas PDR oleh Mr Syafruddin Prawiranegara masih ada di Jamur Barat dan Burni Bius, ini bukti sejarah bahwa pemerintah Indonesia pernah dikendalikan dari Gayo, fakta ini perlu diungkap supaya generasi kita mengetahuinya, untuk itu saya sangat mendukung dan mengapresiasi penyelenggaraan seminar ini,” ungkap Shabela.
Dari berbagai literasi, didapatkan jejak sejarah yang mengungkapkan peran PDRI dalam menjaga dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Periode tahun 1948 - 1949, merupakan masa sulit dalam fase perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Kemerdekaan negara Indonesia yang waktu itu masih seumur jagung, terus digoyang dengan provokasi Belanda yang menyatakan bahwa Indonesia masih merupakan wilayah jajahan mereka.
Bukan hanya propaganda politik yang digaungkan oleh Belanda kepada dunia, namun juga disertai agresi militer, yang akhirnya mampu merebut kota Yogyakarta yang waktu itu menjadi pusat pemerintahan Republik Indonesia.
Tidak lama setelah ibu kota RI di Yogyakarta dikuasai Belanda dalam Agresi Militer Belanda II, mereka berulangkali menyiarkan berita bahwa RI sudah bubar, karena para pemimpinnya, seperti Soekarno, Hatta dan Syahrir sudah menyerah dan ditahan.
Mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki ibu kota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember 1948, Mr. Syafruddin Prawiranegara bersama Kol. Hidayat, Panglima Tentara dan Teritorium Sumatra, mengunjungi Mr. Teuku Mohammad Hasan, Gubernur Sumatra/Ketua Komisaris Pemerintah Pusat di kediamannya, untuk mengadakan perundingan. Malam itu juga mereka meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, daerah perkebunan teh, 15 Km di selatan kota Payakumbuh.
Dengan persetujuan Wakil Presiden, Muhammad Hatta, maka dibentuklah Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan menunjuk Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai Ketua PDRI untuk menjalankan pemerintahan darurat di wilayah Sumatera dan berkedudukan di Bukit Tinggi. Dalam catatan sejarah, PDRI ini berlangsung sejak tanggal 22 Desember 1948 sampai dengan 13 Juli 1949.
Sejak itu PDRI menjadi musuh nomor satu Belanda, karena dengan keterbatasan sarana dan prasaran komunikasi para tokoh PDRI terus menyuarakan bahwa bangsa Indonesia masih ada dan tetap eksis, sehingga medapat respon positif dari berbagai negara yang telah mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Agar perjuangan terus berlanjut, tokoh-tokoh PDRI harus bergerak terus sambil menyamar untuk menghindari kejaran dan serangan Belanda.
Mr. T.M Hasan yang menjabat sebagai Wakil Ketua PDRI, merangkap Menteri Dalam Negeri, Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, pernah menuturkan bahwa rombongan mereka kerap tidur di hutan belantara, di pinggir sungai Batanghari, dan sangat kekurangan bahan makanan. Mereka pun harus menggotong radio dan berbagai perlengkapan lain. Kondisi PDRI yang selalu bergerilya keluar masuk hutan itu diejek radio Belanda sebagai Pemerintah Dalam Rimba Indonesia.
Terus berpindah-pidah untuk menghindari kejaran dan jebakan Belanda, PDRI dibawah pimpinan Mr. Syafruddin Prawiranegara kemudian pernah bermarkas di wilayah Gayo Aceh Tengah, tepatnya di desa Jamur Barat dan Burni Bius (sekarang menjadi bagian dari kecamatan Silih Nara, Kabupaten Aceh Tengah.
Fakta sejarah ini yang akan diungkap oleh para nara sumber dalam seminar tentang jejak sejarah PDRI di Tanoh Gayo ini. RRI juga punya kepentingan dengan pembuktian sejarah ini, karena perjuangan PDRI di pedalaman Gayo ini, terkait erat dengan keberadaan RRI Rimba Raya yang terus menyuaraan tentang eksistensi negara Republik Indonesia pada saat ibukota negara di Yogyakarta saat itu dalam penguasaan Belanda.
Itulah sebabnya dalam momentum Pekan Tilawatil Qur’an (PTQ) Nasional RRI ke 52 di Takengon ini, RRI bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, berinisiatif menggelar seminar nasional ini. [FMT/HAT]