Santri Aceh Perkuat Syariat Islam dan Merawat Perdamaian
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Empat ribu orang santri, ulama dan pimpinan dayah Se-Aceh mengikuti upacara peringatan Hari Santri Nasional ke-5 tahun 2019 di Lapangan Blang Padang, Kamis (24/10/2019).
Pelaksana Tugas Gubernur Aceh Nova Iriansyah bertindak sebagai pembina apel, dalam sambutannya mengatakan sesuai dengan tema nasional, yaitu "Santri Indonesia Untuk Perdamaian Dunia", maka tema ini paling tidak akan membentuk paradigma dan sandaran pemikiran kita betapa para santri didorong agar terus berkontribusi untuk mewujudkan perdamaian dunia.
Dayah atau pesantren, sebutnya, merupakan tempat di mana para santri bernaung dan belajar ilmu agama, sejatinya dijadikan sebagai lembaga pendidikan Islam yang rahmatan lil’alamin. "Islam yang toleran dengan setiap perbedaan, pola dialogis, tidak anarkhis dan anti kekerasan, menjadi sikap yang bijak dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi, terutama antar sesama umat Islam di Aceh," ujarnya.
"Sikap bijak tersebut menjadi kunci penting dalam rangka merawat perdamaian dan mewujudkan keadilan di Aceh serta memungkinkan para santri berkontribusi dalam mengawal dan memperkuat pelaksanaan Syariat Islam di Aceh," lanjutnya.
Menurut Nova ada beberapa alasan utama Dayah/Pesantren menjadi kunci penting dalam memperkuat pelaksanaan Syariat Islam dan merawat perdamaian di Aceh sebagai modal dalam membangun negeri.
Diantaranya, bahwa pelaksanaan Syariat Islam dan perdamaian adalah sebuah nikmat terbesar yang dianugerahkan Allah SWT yang patut disyukuri. Perjuangan mewujudkan formalisasi Syariat Islam dan perdamaian di Aceh tidak terlepas dari peran Dayah/Pesantren. Para alim ulama, para Abu dengan elemen masyarakat Aceh lainnya, secara bersama-sama memperjuangkan agar Syariat Islam dapat diterapkan secara legal formal di Aceh.
"Perjuangan kalangan dayah tidak hanya berakhir sampai di situ. Ketika konflik yang berkepanjangan terjadi di Aceh, para Abu dan Pimpinan Dayah juga sangat berperan melalui kontribusi pemikirannya untuk menciptakan keharmonisan dan perdamaian," jelasnya.
Dialog serta negosiasi damai antara Aceh dan Pemerintah Pusat, tambah Nova, secara kontinyu melibatkan kalangan dayah di Aceh, yang pada akhirnya kesadaran mewujudkan perdamaian berujung dengan lahirnya MoU Helsinki yang kemudian ditetapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
"Sampai kini pun komitmen santri Aceh untuk memperkuat Syariat Islam dan merawat damai di Aceh, tidak akan lekang karena panas dan tidak akan pernah lapuk karena hujan," sebutnya.
Era milenial saat ini yang ditandai dengan kemajuan bidang teknologi dan komunikasi, terbukti berhasil menyebarkan paham-paham konstruktif maupun destruktif yang pada gilirannya dunia terasa begitu kecil dan sempit. Paham liberalisme, materalisme, dan hedonisme tak terasa telah memasuki ruang dan rumah kita. Di tengah zaman yang semakin pragmatis ini, maka Dayah/Pesantren menjadi ruang yang sangat kondusif untuk menjaga khazanah kearifan lokal sekaligus memperkuat pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.
Pelaksanaan program pembangunan Aceh Hebat yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2017-2022 menjadi momentum bagi seluruh elemen masyarakat terutama para santri agar turut berperan aktif mendukung dan mensukseskan pembangunan di Aceh dalam rangka mewujudkan Aceh menjadi negeri baldatun thaiyibatun warabbun ghafur.
Di akhir sambutan Nova mengajak kepada seluruh Santri untuk mendukung Gerakan Bersih, Rapi, Estetis dan Hijau (BEREH) di seluruh lingkungan dayah/ pesantren, agar kenyamanan dalam proses belajar mengajar di dayah dapat kita rasakan bersama. "Gerakan BEREH ini sudah mulai kita terapkan di seluruh kantor-kantor pemerintahan, sarana pendidikan dan kesehatan, baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota," tutup Nova. (rd/ri)