DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kasus kekerasan terhadap anak kembali mencuat dari lingkungan pendidikan agama terutama pesantren atau Dayah.
Seorang santri asal Aceh Tengah, berinisial MDL (14), mengalami pengeroyokan yang diduga dilakukan oleh tiga orang seniornya di salah satu Pondok Pesantren Terpadu di Matang Geulumpangdua, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen. Peristiwa itu terjadi pada Selasa malam, 26 Agustus 2025, sekitar pukul 23.00 WIB.
Akibat penganiayaan tersebut, MDL menderita luka lebam di bagian wajah, luka sobek di daun telinga, bahkan sempat pingsan. Saat ini, korban sudah dipulangkan ke rumah orang tuanya di Kampung Pepanyungen Angkup, Kecamatan Silih Nara, Aceh Tengah. Namun, ia masih mengalami trauma mendalam.
Orang tua korban, Muhammad Ikhwan, mengaku terpukul melihat kondisi putranya. Ia menyesalkan sikap pihak pesantren yang menurutnya tidak serius menangani kasus ini.
“Anak saya dipukuli dan ditendang seperti binatang, tidak berperikemanusiaan. Pipi anak saya lebam-lebam, telinga sobek, bahkan sempat pingsan dari malam sampai pagi,” ungkap Ikhwan saat dikonfirmasi wartawan dialeksis.com, Senin, 1 September 2025.
Ikhwan menuturkan, awalnya ketiga pelaku memanggil MDL usai kegiatan belajar malam dengan alasan ada pembinaan tambahan. Namun, bukannya dibimbing, korban justru dikeroyok hingga babak belur.
“Mereka memanggil anak saya ke ruangan, lalu memukuli satu per satu secara bergantian. Akhirnya, anak saya jatuh pingsan. Itu bukan pembinaan, tapi murni kekerasan,” tegasnya.
Menurut Ikhwan, pihak pesantren hanya memberikan sanksi berupa surat peringatan (SP) kepada para pelaku. Ia menilai hukuman tersebut terlalu ringan dan tidak menimbulkan efek jera.
“Kalau hanya ditegur dengan surat peringatan, itu sama saja membuka peluang kasus serupa terjadi lagi. Santri lain bisa jadi korban. Kami tidak mau kejadian ini dianggap remeh,” ucapnya.
Yang lebih mengejutkan, kata Ikhwan, setelah berbicara dengan beberapa wali santri lain, ternyata kasus serupa bukan kali pertama terjadi.
“Ternyata banyak anak yang pernah diperlakukan seperti itu, tapi tidak terungkap. Ini sudah jadi pola kekerasan,” tambahnya.
Pihak pesantren, lanjut Ikhwan, sempat menawarkan mediasi damai dengan para pelaku dan wali mereka. Bahkan, saat penjemputan anaknya, pihak pesantren hanya menyerahkan uang Rp400 ribu untuk biaya pengobatan. Namun, keluarga korban menolak tawaran damai tersebut.
“Kami tidak mau berdamai sebelum kasus ini benar-benar tuntas. Ini bukan sekadar luka fisik, tapi trauma mendalam bagi anak saya. Kalau pesantren mengabaikan hal ini, artinya mereka mencoreng nilai pendidikan yang sebenarnya,” tegas Ikhwan.
Untuk memperkuat bukti, keluarga korban sudah melakukan visum di rumah sakit. Mereka berharap kasus ini ditangani secara serius, baik oleh pihak pesantren maupun aparat penegak hukum.
“Kami hanya ingin keadilan untuk anak kami. Sampai hari ini, pihak pesantren dan wali pelaku belum menunjukkan kepedulian yang nyata. Anak saya masih ketakutan dan butuh pemulihan,” ungkap Ikhwan.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Pesantren Terpadu Al Muslim Bireuen belum memberikan klarifikasi resmi terkait dugaan kekerasan yang menimpa MDL. Pihak pesantren disebut hanya memfasilitasi mediasi, tanpa langkah hukum yang jelas.
"Ada ajakan dari pihak pesantren agar korban dan pelaku berdamai, tapi kami selaku korban tidak bisa menerima kenyataan ini. Saat ini sudah saya laporkan persoalan ini ke Polres Bireuen," pungkasnya.