kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Rumpi Bareng Prof Apridar, Bahas Soal Kemiskinan dan Eksamen Bagi Pemerintah Aceh

Rumpi Bareng Prof Apridar, Bahas Soal Kemiskinan dan Eksamen Bagi Pemerintah Aceh

Rabu, 09 Februari 2022 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Akhyar

Foto: Prof. Dr. Apridar, SE., MSi, Rektor Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (UNIKI) Bireuen. 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sudah menjadi bahasan umum jika Acehmenyandang status sebagai salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Di tahun 2022 ini, berdasarkan data dan hasil riset terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa penduduk miskin di tanah Serambi Mekkah kembali meningkat menjadi 15,53 persen dan menempatkan Aceh kembali sebagai wilayah termiskin di Pulau Sumatera. 

Kenaikan ini sekaligus menobatkan Provinsi Aceh masuk dalam jajaran top lima besar provinsi termiskin se-Indonesia. Kaget, sudah barang pasti. Karena masyarakat semuanya mengeluh atas kondisi miskin yang terkesan tak kunjung usai ini.

Bahkan, para kawula muda yang tergabung dalam Aliansi Pemuda Aceh Menggugat (APAM) menyerukan aksi mengecam Pemerintah Aceh karena dianggap telah mampu mempertahankan gelar juara wilayah termiskin di depan Kantor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh, Banda Aceh, Selasa (9/2/2022) kemarin. 

Berbeda halnya dengan sikap Pemerintah Aceh, melalui Juru Bicara Pemerintah Aceh, Muhammad MTA sebagaimana disiarkan di media ini sebelumnya, ia percaya bahwa Pemerintah Aceh ke depan bakal mampu membawa perubahan dari angka kemiskinan Aceh yang stagnan itu.

Apalagi, Pemerintah Aceh dikabarkan bakal melakukan upaya kongkret bersama Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menuntaskan perkara ini. Sentuhan penanganan angka kemiskinan ini akan dilakukan secara gotong royong karena kemiskinan sekarang adalah akumulasi yang dirasakan oleh seluruh masyarakat Aceh.

Sementara itu, Rektor Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (UNIKI) Bireuen, Prof Dr H Apridar SE MSi terenyuh hati menyaksikan kondisi Aceh yang tak kunjung usai ini. Ia bahkan mengaku heran mengapa Aceh masih miskin.

Padahal, kata dia, kucuran anggaran nasional untuk Aceh cukup luar biasa. Namun, menjadi ironi ketika dengan anggaran yang cukup besar itu masih dapat mempertahankan Aceh sebagai wilayah termiskin di Sumatera.

“Umpamanya, laksana kita disambar petir di siang bolong. Bisa kita katakan begitu dengan kondisi kita saat ini,” ucap Prof Apridar kepada reporter Dialeksis.com, Rabu (9/2/2022).

Di sisi lain, Prof Apridar mengatakan, Provinsi Aceh merupakan wilayah yang subur dengan potensi alam yang cukup banyak. Menurutnya, dengan semerbak potensi alam dan potensi ekonomi di Aceh seharusnya tak menjadi alasan wilayah Aceh bisa jadi daerah termiskin.

Karena, berdasarkan pengamatannya terhadap data-data kemiskinan di provinsi atau di benua lain menunjukkan kalau kondisi geologisnya sangatlah menantang.

“Namun, untuk Aceh dengan posisi yang demikian ini adalah sesuatu yang sangat memilukan,” ungkapnya.

Provinsi Termiskin Lantas Salahkan BPS, Ngawur!

Prof Apridar menegaskan, sangat tak bijak jika khalayak mempermasalahkan kriteria yang dibuat oleh BPS. Karena data yang ada di BPS adalah hasil survei dengan variabel data yang digabungkan dengan fakta serta keadaan masyarakat Aceh.

Oleh sebab itu, menurutnya sangat ngawur apabila khalayak mempermasalahkan kriteria yang ditetapkan oleh BPS. Karena metode riset yang dilakukan oleh BPS Aceh sama dengan daerah-daerah lain.

“Jangan sampai buruk muka, cermin dibelah. Jangan mencari kambing hitam. Karena kelakuan yang demikian sangat tidak bijak,” tegasnya.

13 Kriteria Keluarga Miskin

Di kesempatan yang sama, Prof Apridar yang juga seorang akademisi di Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh ini menjelaskan 13 kriteria yang menunjukkan seseorang atau sebuah keluarga itu miskin.

Pertama, luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari delapan meter persegi.

Kedua, jenis lantai tempat tinggal beralaskan tanah, atau dari bambu, atau dari kayu yang tak layak atau berkualitas rendah.

Ketiga, jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu, rumbia, ataupun kayu yang berkualitas rendah, atau tembok rumah tapi belum diplester.

Keempat, tidak memiliki fasilitas buang air besar. Pemakaiannya bersama-sama dengan rumah tangga lain atau mungkin mereka menumpang ke rumah tetangga, atau buang air besar ke laut atau sungai.

Kelima, sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

Keenam, sumber air berasal dari sumur atau mata air yang tidak terlindungi seperti di sungai, air hujan dan sebagainya.

Ketujuh, bahan bakar yang dipakai sehari-hari adalah kayu bakar, arang atau minyak tanah.

Kedelapan, hanya mengonsumsi daging, susu atau ayam sekali dalam seminggu, bahkan kadang juga tidak ada.

Kesembilan, pakaian baru yang mampu dibeli hanya satu setiap tahunnya, misal di saat lebaran.

Kesepuluh, tak sanggup membayar pengobatan di klinik atau pukesmas.

Kesebelas, pendapatannya di bawah Rp600 per bulan.

Keduabelas, tidak tamat sekolah atau hanya tamatan SD.

Ketigabelas, tidak memiliki tabungan atau memiliki barang berharga yang mampu dirupiahkan minimal Rp500 ribu.

“Dari 13 kriteria ini, apabila ada di antara masyarakat yang masuk ke dalam variabel itu, dia sudah terpenuhi dan bisa dikatakan sebagai seseorang yang miskin atau keluarga miskin,” ujar Prof Apridar.

Sembarangan Kelola Anggaran Penyebab Aceh Miskin?

Menurut Prof Apridar, ihwal kondisi Aceh masih miskin di Sumatera disebabkan karena Pemerintah Aceh tidak fokus atau kurang cerdik dalam mengelola anggaran.

Karena, ia berargumen jika fenomena kemiskinan di Aceh bisa disembuhkan dengan pengelolaan anggaran yang cerdik dan ulung dari Pemerintah Aceh.

“Semua ini (kemiskinan-Red) bisa dituntaskan dengan anggaran. Berarti boleh dikatakan, kemampuan kita dalam mengelola anggaran secara baik itu masih belum dimiliki. Bisa jadi ke sana penyebabnya. Tapi, kalau saya lebih cenderung mengatakan Pemerintah Aceh kita tidak fokus,” sebutnya.

“Jangan asyik memikirkan program-program cet langet (ungkapan ketidakmungkinan dalam bahasa Aceh-Red) yang tinggi, tetapi persoalan dasar saja tidak mampu kita tuntaskan. Ini sangat miris,” tambahnya lagi. 

Mari Gotong Royong

Terakhir, Prof Apridar mengajak semua elemen masyarakat, baik yang duduk di pemerintahan, akademisi atau kawula muda untuk bersama-sama mencari jalan keluar dari kemiskinan ini. Saling mengingatkan, meyakinkan, merekomendasikan yang terbaik agar Aceh bisa keluar dari bayang-bayang kemiskinan.

“Mari kita semua berbenah, jangan asyik mencari kambing hitam siapa yang salah. Kita ini insan yang hidup di sebuah provinsi yang sama. Manis dan pahit kita rasakan bersama. Mari kita tuntaskan persoalan ini secara bersama,” pungkasnya. [Akhyar]

Keyword:


Editor :
Zakir

riset-JSI
Komentar Anda