Rumoh Geudong Aceh Dihancurkan, Ini Kritikan Organisasi Masyarakat Sipil
Font: Ukuran: - +
Reporter : Zulkarnaini
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Organisasi masyarakat sipil mengevaluasi tindakan penghancuran sisa bangunan Rumoh Geudong, salah satu situs pelanggaran HAM berat di Kabupaten Pidie, Aceh, yang terjadi pada 20-21 Juni 2023.
Menurut mereka, tindakan ini merupakan upaya penghilangan barang bukti, pengaburan kebenaran, penghapusan sejarah, dan memori kolektif rakyat Aceh terhadap konflik yang terjadi di wilayah tersebut dari tahun 1976 hingga 2005.
Para organisasi masyarakat sipil menekankan bahwa negara harus memastikan adanya memorialisasi yang melibatkan partisipasi yang berarti dari korban dan berfokus pada kebutuhan serta kepentingan para penyintas. Pendekatan ini harus didasarkan pada prinsip-prinsip hak korban pelanggaran HAM, yang menempatkan korban sebagai pusat perhatian.
Tindakan penghancuran ini dilakukan oleh tim pemerintah Kabupaten Pidie sebagai bagian dari pelaksanaan rekomendasi Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM yang Berat (PKPHAM).
Namun, organisasi masyarakat sipil menilai bahwa penghancuran tersebut bertentangan dengan prinsip transparansi, keadilan, dan akuntabilitas dalam menangani masa lalu yang penuh trauma.
Rumoh Geudong adalah salah satu situs yang menjadi saksi bisu konflik di Aceh selama beberapa dekade. Penghancuran sisa bangunan ini menuai kecaman dari organisasi masyarakat sipil, yang memandangnya sebagai upaya untuk menghilangkan jejak dan bukti-bukti terkait pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Mereka menekankan pentingnya menjaga sejarah dan memori kolektif sebagai bagian dari proses rekonsiliasi dan pembangunan masa depan yang lebih baik.
Pelaksanaan ini dilakukan oleh Presiden Joko Widodo di Rumoh Geudong pada 27 Juni 2023. Tim pemerintah Kabupaten Pidie telah bekerja secara terburu-buru, tidak berdasar pada hasil pendataan korban yang utuh dari Komnas HAM, mengabaikan upaya pengungkapan kebenaran yang telah dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, serta menihilkan inisiatif korban dan penyintas dalam membangun memorialisasi di Rumoh Geudong.
“Penghancuran ini sangat merendahkan martabat korban dan masyarakat setempat. Suara mereka telah diabaikan dalam proses ini,” tegas Farida Haryani, Direktur Paska Aceh dalam keterangan yang diterima DIALEKSIS.COM, Kamis (22/6/2023).
Dalam sambutan peresmian tugu Rumoh Geudong yang diinisiasi oleh penyintas tahun 2018, Bupati Pidie, Roni Ahmad, menyatakan, “Monumen ini harus menjadi pelajaran bagi kita semua untuk terus berbuat yang terbaik dalam membangun dan merawat kesejahteraan masyarakat. Jangan lupakan apa yang terjadi di masa lalu dan teruslah melangkah menuju masa depan.”
Farida Haryani menegaskan bahwa narasi kekerasan pada masa lalu serta praktik memorial haruslah berpusat pada korban dan penyintas. Konsultasi dan partisipasi yang berarti dengan korban harus dilakukan agar tindakan membangun memorialisasi dan reparasi formal memiliki makna serta memenuhi prinsip-prinsip hak korban, termasuk memastikan agar korban tidak dikorbankan kembali.
“Upaya negara melalui tim PPHAM semestinya memperkuat upaya korban dan masyarakat sipil yang telah berlangsung sebelumnya, termasuk merawat tugu memorialisasi Rumoh Geudong, dan bukan justru menjadi mekanisme penyangkal atas kebenaran peristiwa kekerasan yang terjadi,” katanya.
“Pemenuhan hak korban pelanggaran HAM merupakan perwujudan hak konstitusional dan hak asasi yang paling mendasar. Negara harus mematuhi standar internasional dalam membangun memorialisasi, termasuk memastikan agar prinsip-prinsip hak korban pelanggaran HAM dipenuhi,” ujarnya.
“Langkah-langkah simbolik yang akan dilakukan harus ditindaklanjuti dengan reparasi komprehensif. Negara juga harus memastikan langkah-langkah perlindungan yang memadai bagi para penyintas dan keluarga korban sebagai bentuk pengakuan atas kerentanan dan ancaman yang mereka hadapi, sebagai akibat dari upaya mereka dalam memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan melawan impunitas,” pungkas Farida Haryani.