DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Tingginya angka kasus pelecehan seksual terhadap anak di Banda Aceh menjadi alarm keras bagi semua pihak. Terlebih, sebagian besar pelakunya adalah orang-orang terdekat korban, seperti teman, tetangga, hingga anggota keluarga sendiri.
Fakta ini mengungkap bahwa ancaman bagi anak-anak bukan hanya datang dari luar rumah, melainkan bisa hadir dari dalam lingkaran kepercayaan mereka sendiri.
Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh, Kompol Fadillah Aditya Pratama, menyebut bahwa dalam dua tahun terakhir, pihaknya menangani sekitar 60 kasus pelecehan seksual terhadap anak. Dari jumlah tersebut, sebanyak 40 kasus telah rampung disidik dan diproses hukum.
"Kita sangat serius menyelesaikan kasus-kasus ini. Tapi memang, yang memprihatinkan, pelaku kebanyakan punya kedekatan emosional dan sosial dengan korban," ujar Fadillah dalam konferensi pers di Mapolresta Banda Aceh, Selasa (8/7/2025).
Menanggapi fenomena ini, Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati, menyatakan bahwa perlindungan anak tidak cukup hanya dilakukan lewat penegakan hukum. Yang lebih krusial adalah menciptakan benteng-benteng perlindungan sejak dari rumah dan lingkungan terdekat.
"Anak-anak kita butuh ruang aman, dan ruang aman itu pertama-tama harus dibangun di rumah mereka sendiri. Jangan sampai rumah justru menjadi tempat paling berbahaya," tegas Riswati kepada media dialeksis.com, Kamis (10/7/2025).
Menurutnya, ada beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan oleh orang tua dan lingkungan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, khususnya yang dilakukan oleh orang terdekat.
Riswati menekankan pentingnya membiasakan anak untuk terbuka dan nyaman berbicara kepada orang tua atau wali. Anak-anak harus merasa bahwa mereka bisa bercerita tanpa takut dimarahi, diragukan, atau dihakimi.
"Anak-anak yang takut bicara atau dibungkam sejak kecil, cenderung menyimpan pengalaman buruknya sendiri. Ini sangat berbahaya karena bisa membuat pelaku bebas berkeliaran," ujarnya.
Ia juga mendorong agar pendidikan seksual berbasis usia mulai diperkenalkan sejak dini. Tidak perlu tabu. Anak-anak perlu diajarkan mana bagian tubuh pribadi yang tidak boleh disentuh orang lain, bagaimana cara mengatakan ‘tidak’, dan kepada siapa mereka bisa mengadu.
“Pendidikan seksual bukan soal mengajarkan hal-hal vulgar, tetapi bagaimana anak-anak mengenali tubuh mereka, menjaga dirinya, dan melindungi sesama,” jelas Riswati.
Riswati mengatakan bahwa masyarakat harus mulai waspada bahwa pelaku kekerasan seksual bisa jadi orang yang dipercaya, bahkan keluarga sendiri. Oleh karena itu, jangan pernah menormalisasi perilaku-perilaku yang merendahkan batas privasi anak.
Selain tanggung jawab keluarga, Riswati menegaskan pentingnya membangun sistem perlindungan di tingkat komunitas.
Ia mendorong adanya pelatihan bagi tokoh masyarakat, guru, dan pengurus gampong agar mampu mengenali tanda-tanda kekerasan seksual dan tahu bagaimana meresponnya secara cepat dan tepat.
"Komunitas bisa menjadi mata dan telinga bagi anak-anak yang tidak bisa bersuara. Kita butuh sistem respons cepat sebelum kasus menjadi parah," tambahnya.
Di sisi lain, Riswati juga mendorong keluarga korban untuk tidak menutupi kasus pencabulan dengan alasan malu atau menjaga nama baik. Menurutnya, sikap diam hanya akan melanggengkan kekerasan dan membiarkan pelaku merasa aman.
Riswati mengingatkan bahwa perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama. Negara harus hadir melalui kebijakan dan layanan yang responsif, keluarga harus menjadi pelindung pertama, dan masyarakat tidak boleh abai.
"Pemerintah penting melakukan revisi Qanun perlindungan anak. Juga penting melakukan harmonisasi kebijakan Qanun Jinayah dengan mengintegrasikan substansi UUTPKS dan UU Perlindungan Anak. Hal ini untuk memastikan hukuman yang menjerakan bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak sehingga memberikan efek jera bagi semua pihak agar tidak terjadinyanya keberulangan," pungkasnya. [nh]