Revisi Qanun Jinayah Masuk Prolega Prioritas 2022, KAPHA Aceh Apresiasi DPRA
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Direktur Koalisi Advokasi dan Pemantau Hak Anak (KAPHA) Aceh, Taufik Riswan Aluebilie menyambut baik langkah DPRA memasukkan agenda Revisi Qanun Jinayah dalam Prolega Prioritas pada tahun 2022.
"Kita apresiasi secara positif. Perubahan ini, tentunya untuk memperkuat Qanun Jinayat, terutama terkait dalam perkara perbuatan pelecehan seksual dan pemerkosaan terhadap anak," ujarnya kepada Dialeksis.com, Jumat (31/12/2021).
Dua jenis jarimah ini, merupakan kejahatan yang bisa digolongkan kepada extraordinary crime (kejahatan luar biasa) karena selain merusak masa depan anak dan perempuan juga merusak nilai-nilai syariat Islam yang diberlakukan di Aceh.
Dalam Qanun Hukum Jinayat terdapat sepuluh jarimah yang diatur, yaitu khamar (minuman keras), maisir (judi), khalwat (bersepi-sepi antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram), ikhtilath (bermesraan antara pria dan wanita yang bukan suami istri), zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf (menuduh orang berzina), liwath (homoseks/sodomi), dan musahaqah (lesbi).
Yang menjadi masalah adalah jarimah pelecehan seksual dan pemerkosaan terhadap anak, karena menyakut dengan tubuh orang lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 47 dan 50 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
"Kami sangat sepakat dengan DPRA dengan lima alasan, atau pertimbangan mengapa revisi terhadap Pasal 47 dan 50 tersebut perlu dilakukan," sebutnya.
Pertama, hukuman bagi pelaku selama ini sangat ringan jika dibandingkan dengan Undang- Undang (UU) Perlindungan Anak. Dalam UU Perlindungan Anak ancamannya bisa maksimal 20 tahun, seumur hidup, dikebiri dan identitas pelaku juga bisa dipublikasikan. jika pelaku telah melakukan kejahatannya terhadap banyak anak.
Sedangkan Qanun Hukum Jinayat memberi peluang kepada pelaku untuk tidak dipenjara, yaitu cukup dicambuk saja. Setelah itu dia bisa kembali bebas dan bahkan berpotensi mengulang lagi perbuatannya.
Kedua, sistem pembuktian dibebankan kepada anak yang menjadi korban. Anak yang jadi korban harus menunjukkan saksi yang melihat dia diperkosa atau dilecehkan, kalau tidak bisa maka terdakwa kasus ini banyak yang dibebaskan.
"Padahal, kita tahu bahwa tidak mungkin pemerkosaan atau pelecehan dilakukan jika di tempat umum dan tempat ramai. Pastilah pelaku membawa korban ke tempat sunyi dan sepi, dimana pelaku dengan aman melakukan kejahatannya," jelasnya.
Lanjutnya, meskipun ada hasil visum dan keterangan psikolog, aparat penegak hukum, di beberapa pengalaman, kerap mengabaikannya pada tingkat putusan banding.
Ketiga, perlindungan terhadap anak yang menjadi korban tidak ada dalam Qanun Hukum Jinayat. Qanun ini hanya berbicara bagaimana menghukum pelaku, tidak mengatur bagaimana melindungi dan pemulihan korban.
Berbeda dengan UU Perlindungan Anak, anak yang menjadi korban berkewajiban/dijamin pemulihan, baik fisik, psikis, bahkan lingkungan dan sosialnya.
Keempat, dalam Qanun Hukum Jinayat tidak menjamin hak pemulihan (restitusi) terhadap anak sebagai korban pelecehan seksual, atau pemerkosaan.
Beda dengan UU Perlindungan Anak, pelaku diwajibkan membayar restitusi terhadap korban.
Kelima, Qanun Hukum Jinayat tidak melihat atau memosisikan anak sebagai korban. Jika ada orang dewasa yang pacaran dengan anak di bawah umur, kemudian berhubungan badan, maka anak juga akan diproses hukum dan diancam untuk dicambuk.
"Untuk Perkara anak, cukup dua pasal yang dicabut yaitu pasal 47 dan 50. Semoga DPRA bisa fokus dalam mengawal 2 pasal itu, dan tidak membias pada poin dan pasal lainnya," pungkasnya.
- Gubernur Aceh Sampaikan Pendapat Akhir Terhadap Enam Raqan Aceh Prolega Prioritas Tahun 2021
- Aktivis Perempuan Aceh Desak Pemerintah dan DPRA Cabut 2 Pasal Qanun Jinayah
- KAPHA Ungkap Kekerasan Seksual Terhadap Anak Tak Bisa Dicegah Hanya dengan Regulasi
- Revisi Qanun Jinayat Masuk Dalam Prolega Tahun 2022