kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Rektor Unsyiah: Ombudsman Bukan Tukang Pos

Rektor Unsyiah: Ombudsman Bukan Tukang Pos

Selasa, 18 Juni 2019 20:35 WIB

Font: Ukuran: - +

Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof Dr Samsul Rizal M Eng mengatakan, dalam proses pekerjaan yang dilakukan Ombudsman selayaknya memiliki  tahapan investigasi dan tahapan lainnya. Tidak serta-merta menerima laporan masyarakat lalu langsung menyampaikan permasalahannya kepada lembaga pemerintahan atau institusi yang dikoreksi masyarakat. [foto:ist]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Lembaga Ombudsman RI dalam menerima aduan masyarakat jangan memposisikan diri layaknya tukang pos, yang menerima surat lalu mengantarnya langsung ke tujuan.

Demikian disampaikan Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof Dr Samsul Rizal M Eng, Selasa (18/6/2019), kepada Dialeksis.com di ruang kerjanya, dalam diskusi ringan terkait pelayanan publik.

Rektor Unsyiah mengatakan, dalam proses pekerjaan yang dilakukan Ombudsman ada tahapan investigasi dan tahapan lainnya. Tidak serta-merta menerima laporan masyarakat lalu langsung menyampaikan permasalahannya kepada lembaga pemerintahan atau institusi yang dikoreksi masyarakat.

"Kalau menyampaikan langsung tanpa ada investigasi bisa sama dengan fungsi tukang pos. Kan tukang pos mengantarkan langsung surat kepada orang yang dituju, tanpa tahu apa isi suratnya," kata Samsul.

Dia memaparkan, tugas Ombudsman RI dalam pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik yaitu menerima laporan atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Ombudsman kemudian melakukan pemeriksaan substansi atas laporan, menindaklanjuti laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman.

Selain itu melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, melakukan koordinasi dan kerjasama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya di daerah serta lembaga kemasyarakatan dan perorangan, membangun jaringan kerja, melakukan upaya pencegahan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan melakukan tugas lain yang diberikan oleh Undang-undang.

Secara umum kata Samsul, maladministrasi diartikan perilaku atau perbuatan melawan hukum dan etika dalam suatu proses administrasi pelayanan publik.

Perbuatan itu meliputi penyalahgunaan wewenang/jabatan, kelalaian dalam tindakan dan pengambilan keputusan, pengabaian kewajiban hukum, melakukan penundaan berlarut, tindakan diskriminatif, permintaan imbalan, dan lain-lain yang dapat dinilai sekualitas dengan kesalahan tersebut.

Khususnya di Aceh, dia menegaskan, Kantor Ombudsman RI Perwakilan Aceh harus mampu memberikan edukasi kepada masyarakat sekaligus kelembagaan, institusi pemerintahan dan pihak-pihak yang dianggap perlu.

Karena itu menurut dia, semangat yang dibangun mesti bisa diselaraskan dengan semangat pemerintah lokal setempat.

"Ini merupakan salah satu tekad yang harus diwujudkan untuk menciptakan dan mendukung penyelenggara pemerintahan yang baik (good governance)."

Ombudsman Aceh harus bisa memberi edukasi dalam melapor berbagai permasalahan publik bagi masyarakat, lembaga dan instansi pemerintah yang ada di kapubaten/kota lainnya di Aceh, tambahnya.

Kehadiran Ombudsman diharapkan mampu mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan kota yang bersih, demokratis, transparan dan akuntabel serta bebas dari KKN.

"Tentu saja dengan tidak meninggalkan semangat silaturahmi dan koordinasi," tutup Samsul.(red)

Keyword:


Editor :
Pondek

riset-JSI
Komentar Anda