Ratusan Ribu Petani Sawit di Aceh Terancam Karena Belum Tersertifikasi ISPO
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Sekretaris Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, Azanuddin Kurnia, SP. MP, memaparkan materi dalam diskusi bertema "Menyukat Tantangan dan Peluang Hilirisasi Sawit di Aceh" yang diselenggarakan oleh Jurnalis Ekonomi Aceh pada Jumat (11/10/2024). Foto: Nora/Dialeksis
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ratusan ribu petani sawit di Aceh terancam tidak dapat menjual tandan buah segar (TBS) dan minyak sawit mentah (CPO) akibat kebun sawit mereka yang belum tersertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). ISPO adalah standar mutu pengelolaan bisnis kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia.
Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, Azanuddin Kurnia, SP. MP, dalam diskusi bertema "Menyukat Tantangan dan Peluang Hilirisasi Sawit di Aceh" yang diselenggarakan oleh Jurnalis Ekonomi Aceh pada Jumat (11/10/2024).
Azanuddin menjelaskan bahwa kewajiban untuk mendapatkan sertifikasi ISPO bagi perkebunan rakyat dan perusahaan telah dimulai sejak 2011. Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 38 Tahun 2020, yang mencakup kriteria pemenuhan legalitas, pengelolaan lingkungan, pengelolaan perkebunan, dan tanggung jawab sosial.
"Berdasarkan Permendagri No. 38, pekebun sawit harus tersertifikasi ISPO paling lambat 2025. Sementara itu, perusahaan sudah mulai sejak 2020. Jika tidak tersertifikasi, maka TBS dan CPO tidak akan laku di pasar internasional," ungkapnya.
Saat ini, dari total 263 ribu hektare kebun sawit rakyat di Aceh, baru sekitar 2000 hektar yang tersertifikasi ISPO, atau sekitar 0,75 persen. Jika situasi ini terus berlanjut, diperkirakan akan ada sekitar 800 ribu orang di Aceh yang tidak akan dapat menjual TBS mereka.
"Ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah dalam mempercepat proses sertifikasi ISPO," kata Azanuddin.
Dia juga menambahkan bahwa saat ini sudah ada pabrik kelapa sawit (PKS) di Aceh Tamiang yang menolak membeli buah dari varietas dura, yang dikenal memiliki rendemen rendah. “Alasan tidak membeli karena kualitasnya yang buruk,” ujarnya.
Terkait program pemerintah mengenai hilirisasi, Azanuddin menyebutkan beberapa program yang terakhir dilaksanakan sejak 2017 atau 2018, khususnya setelah terbitnya Permendagri 90 mengenai kegiatan di seluruh Indonesia. Namun, aturan tersebut membatasi kewenangan dinas provinsi terkait alat pengolahan.
“Kami tidak lagi bisa membeli traktor atau unit pengolahan hasil (UPH). Kami merasa kesulitan karena sebagai negara agraris, kewenangan kami dalam pengolahan justru dikurangi. Sejak 2019, tidak ada kegiatan terkait pengolahan alat mesin pertanian, padahal alat itu menjadi salah satu untuk peningkatan nilai tambah," jelasnya.
Kondisi itu menunjukkan tantangan serius yang dihadapi oleh petani sawit dan pemerintah Aceh (Distanbun), yang membutuhkan perhatian dan solusi segera untuk memastikan kelangsungan hidup para petani. [nor]