RAPBA 2023 Berkurang Drastis Dinilai Tak Masalah, Jika Alokasi Belanja Tepat Sasaran
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Ahli Akuntansi Nasional Dr Syukriy Abdullah. [Foto: Ist]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pj Gubernur Aceh, Achmad Marzuki memohon kepada Presiden RI agar mengalokasikan bantuan khusus setara 2,25 persen plafon Dana Alokasi Umum (DAU) nasional untuk Aceh.
Permintaan bantuan khusus tersebut mengingat, mulai tahun depan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) berkurang drastis menjadi Rp10 triliun lebih dibanding anggaran belanja tahun 2022 sebesar Rp16 triliun lebih.
Bantuan khusus tersebut merupakan solusi sementara terhadap terjadinya penurunan dana Otsus Aceh dari 2 persen menjadi 1 persen sambil menunggu perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA).
Menanggapi hal itu, Ahli Akuntansi Nasional Dr Syukriy Abdullah tak menghiraukan adanya penurunan pendapatan yang diterima oleh Provinsi Aceh.
Pasalnya, kata Syukriy, selama ini dengan anggaran besar pun banyak postur belanja di APBA yang tidak penting, seperti tidak berhubungan dengan penurunan kemiskinan, bukan kebutuhan masyarakat, tetapi berhubungan dengan kepentingan para pejabat.
Ilmuan berpengaruh itu mengingatkan kejadian ketika DPR Aceh menolak Rancangan Qanun (Raqan) Pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2020. Lalu, Pemprov Aceh bakal mengajukan Rancangan Peraturan Gubernur (Pergub) untuk membahas pertanggungjawaban tersebut dengan Mendagri.
Adapun alasan ditolak karena berdasarkan temuan LHP-BPK RI tahun anggaran 2020, dapat disimpulkan cukup banyak temuan pelanggaran keuangan Negara. Setidaknya ada 30 temuan utama dalam LHP-BPK RI yang perlu ditindaklanjuti oleh Pemerintah Aceh, begitu juga halnya dengan kegiatan proyek bermasalah yang telah menjadi target Aparat Penegak Hukum seperti kapal Aceh Hebat 1, 2, dan 3.
Serta proyek multiyears, penggunaan anggaran daerah lebih mengutamakan biaya aparatur misalnya anggaran untuk Staf Khusus dan Penasehat Khusus Gubernur Aceh yang mencapai Rp 6,3 Miliar serta bantuan untuk organisasi sosial lainnya yang kurang mempertimbangkan azas keadilan dan tidak mempunyai dasar hukum.
"Sebenarnya, banyak yang terjadi seperti itu tetapi tidak pernah dianalisis atau dikaji oleh pihak Bappeda Aceh. Karena sebenarnya Bappeda yang menilai efektivitas anggaran, berapa persen mark up di Pemda tapi tidak pernah dianalisis, yang akhirnya setiap tahun SiLPA tinggi," kata Dosen Favorit Mahasiswa di USK itu.
Menurutnya, perlu dilakukan analisis terlebih dulu belanja-belanja tersebut. Karena kalau dikaji lebih lanjut banyak belaja yang tidak perlu, jika efesiensi dan efektivitas itu tepat guna.
"Apakah Rp10 Triliun itu cukup, mungkin cukup. Berapapun uang ke Aceh itu tidak akan pernah cukup, kalau kita menganggap tidak cukup. Itu yang harus dievaluasi," tegasnya.
Syukriy menyarankan, perlu adanya langkah melakukan rasionalisasi anggaran. Misal, tahun 2023 nanti tenaga kontrak sudah berkurang, maka berapa persen penghematan yang bisa dilakukan. Untuk itu seharusnya Bappeda Aceh menganalisis berapa penghematan dengan pemberhentian tenaga kontrak.
"Semua kita sepakat bahwa, anggaran Aceh itu sangat berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi di Aceh, APBA dan APBK sangat berpengaruh sekali. Masalahnya, pengaruh itu belum maksimal juga," jelasnya lagi
Untuk itu, kata Syukriy, dalam jangka waktu singkat ini pemerintah Aceh harus ada keberanian untuk membuat kebijakan yang benar-benar sesuai kebutuhan.
Menurutnya, anggaran Rp8 Triliun saja cukup untuk Aceh, tetapi harus berani mengambil kebijakan berdasarkan analisis, jangan hanya pada keputusan di DPRA yang terlalu politis dan tidak berdasarkan kondisi di daerah.
"Bappeda yang paling bertanggung jawab untuk ini, apakah Bappeda mampu melaksanakan tugasnya dengan baik untuk memberikan analisi yang tepat terkait dengan kebutuhan dan kondisi keuangan Aceh saat ini," pungkasnya.(AN)