Putusan DKPP, Haruskah KIP Aceh Minta Maaf?
Font: Ukuran: - +
Reporter : akhyar
Komisi Independen Pemilihan (KIP) (Kiri) dan Wakil Ketua KIP Aceh Ir Tharmizi MH (Kanan). [Foto: Kolase/Dialeksis]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI telah menjatuhkan sanksi kepada ketua dan anggota komisioner Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh soal pelanggaran kode etik.
DKPP menjatuhkan perkara melalui Putusan Nomor 169-PKE-DKPP-/X/2021 dalam sidang di gedung DKPP, Jakarta Pusat, Rabu (17/11/2021) siang.
Sebelumnya, reporter Dialeksis.com sempat menghubungi kuasa hukum pengadu dari Bakal Calon (Balon) Bupati Aceh Singkil Nasran AB, yakni Imran Mahfudi SH.
Saat dimintai komentar, Imran Mahhfudi meminta Ketua KIP Aceh Samsul Bahri, Wakil Ketua KIP Aceh Tharmizi, dan anggota Komisioner lain, Ranisah, Muhammad Agusni AH, dan Akmal Abzal untuk meminta maaf kepada publik terkait polemik penetapan jadwal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh.
"Kami meminta KIP Aceh untuk meminta maaf kepada rakyat Aceh atas perbuatan yang telah mereka lakukan," ujar Imran Mahfudi kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Rabu (17/11/2021) sore.
Haruskah KIP Aceh Minta Maaf?
Secara terpisah, pihak KIP Aceh mengaku harus menerima dengan perasaan kecewa terhadap putusan final DKPP. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua KIP Aceh Ir Tharmizi MH kepada reporter Dialeksis.com melalui pesan Whatsapp.
"KIP Aceh terhadap putusan DKPP tentunya harus menerima walau sedikit kecewa karena putusan DKPP final dan mengikat," ujar Tharmizi kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Rabu (17/11/2021) malam.
Selaku orang yang juga membidangi Divisi Hukum dan Pengawasan di KIP Aceh, Tharmizi menjelasakan kalau penetapan jadwal dan tahapan Pilkada, KIP Aceh memegang teguh aturan khusus yang berlaku di Aceh, yaitu Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006 terutama pada Pasal 65 dimana gub/wagub dipilih dalam satu pasangan secara lansung oleh rakyat setiap lima tahun sekali.
Adapun dalam menetapkan jadwal dan tahapan, lanjut dia, KIP Aceh juga telah melakukan berbagai kajian yang dimulai dari diskusi-diskusi dengan tokoh-tokoh pemerhati pemilu dan Pilkada di Aceh, Focus Group Discussion (FGD) dan pertemuan-pertemuan, baik dengan eksekutif, legislatif dan juga Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, karena sesuai dengan Pasal 66 ayat 1 penetapan jadwal dan tahapan ditetapkan oleh KIP.
Tharmizi mengabarkan, setelah KIP Aceh menerima pemberitahuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengenai berakhirnya masa jabatan gub/wagub sebagaimana bunyi Pasal 66 ayat 3 huruf b, KIP Aceh wajib menyusun jadwal dan tahapan untuk ditetapkan. Sedangkan untuk anggaran, KIP usulkan ke Gubernur Aceh sebagaimana Pasal 65 ayat 3 bahwa untuk pemilihan gub/wagub dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA).
"Setelah semua kami lakukan baru kami pleno untuk menetapkan jadwal dan tahapan Pilkada Aceh dilaksanakan tahun 2022 dikarenakan pilkada sebelumnya tahun 2017," ungkap Tharmizi.
Tharmizi menuturkan, Pemerintah Aceh berkewajiban menyediakan anggaran, dan dalam jadwal dan tahapan KIP Aceh batas akhir penandatanganan Naskah Perjanjian Hibah Aceh (NPHA) adalah tanggal 1 April 2021.
Saat mendekati tanggal 1 April, kata dia, pihak KIP Aceh sering mengingatkan namun Pemerintah Aceh pada tanggal 31 Maret mengirim surat kepada KIP Aceh dimana memberitahukan anggaran untuk Pilkada tahun 2022 masih menunggu keputusan lebih lanjut dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Oleh sebab itu, KIP Aceh melalui pleno memutuskan untuk menunda Pilkada tahun 2022 sampai adanya kejelasan anggaran dari Pemerintah Aceh.
Namun, akibat keputusan KIP Aceh menetapkan dan menunda kembali, ternyata ada orang Aceh yang merasa dirugikan sehingga mengadukan Komisioner KIP Aceh ke DKPP.
"DKPP memutuskan kami melanggar etik dengan putusannya. Tentunya kami sedikit kecewa tapi juga harus menerima karena kami sudah bekerja dalam menetapkan jadwal dan tahapan sesuai dengan UUPA yang berlaku khusus di Aceh," pungkasnya.
Dari Awal Kemendagri Ingin Pilkada Serentak di 2024
Dilansir dari Tempo.co, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyatakan tak setuju dengan wacana normalisasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 2022 dan 2023.
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar mengatakan, Pilkada semestinya dilaksanakan pada 2024 sesuai amanat Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Bahtiar menjelaskan, UU Pilkada hasil perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 itu mengamanatkan perubahan keserentakan nasional yang semula dilaksanakan pada 2020 menjadi 2024.
Dia menyebut perubahan itu bukanlah tanpa dasar, tetapi telah disesuaikan dengan alasan yuridis, filosofis, hingga sosiologis.
"Oleh karenanya kami berpendapat bahwa UU ini mestinya dijalankan dulu, tentu ada alasan-alasan filosofis, ada alasan-alasan yuridis, ada alasan sosiologis, dan ada tujuan yang hendak dicapai mengapa Pilkada diserentakkan tahun 2024," kata Bahtiar dalam keterangan tertulis kepada reporter Tempo.co, Jumat (29/1/2021).
Dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 Pasal 201 ayat (5), kata dia, disebutkan bahwa pemungutan suara serentak dalam pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada hari dan bulan yang sama pada tahun 2020. Kemudian, dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 201 ayat (8), pasal itu diubah. Pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di seluruh wilayah NKRI dilaksanakan pada bulan November 2024.
"Oleh karenanya mestinya pelaksanaan pemilihan kepala daerah tetap sesuai dengan UU yang ada, yaitu dilaksanakan serentak di seluruh wilayah Indonesia pada tahun 2024," kata Bahtiar. [Akh]