DIALEKSIS.COM | Jantho - Perpustakaan Tanoh Abee, tempat yang menyimpan ratusan manuskrip kuno berusia ratusan tahun butuh penyelamatan mendesak.
Pustaka yang merekam sejarah panjang pemikiran Islam, sosial, politik, hingga strategi perjuangan melawan kolonialisme. Namun, hingga kini, khazanah itu belum sepenuhnya mendapat perhatian yang layak.
Salah satu pewaris Zawiyah Tanoh Abee, Teuku Abulis Samarkhan, menegaskan bahwa pustaka kuno seperti Tanoh Abee adalah jejak sejarah sekaligus warisan intelektual Islam yang harus dijaga bersama.
Ia menaruh harapan besar agar pemerintah Aceh dan Aceh Besar lebih peduli terhadap pemilik atau kolektor manuskrip kuno.
“Harus ada kepedulian nyata dari pemerintah Aceh dan Aceh Besar untuk membantu pemilik-pemilik pustaka kuno dalam melestarikan dan mempertahankan khazanah ini. Jangan sampai manuskrip yang menjadi bukti kejayaan Aceh di masa lalu hilang begitu saja,” ujarnya kepada media dialeksis.com, Senin (25/8/2025).
Kenangan tentang kejayaan Tanoh Abee tidak hanya hidup di hati masyarakat lokal. Pada tahun 1979, dua sejarawan internasional dari Prancis datang melakukan penelitian dan menobatkan Dayah Tanoh Abee sebagai pesantren tertua yang masih berdiri di Indonesia hingga sekarang.
Lebih dari itu, mereka juga mengakui Perpustakaan Tanoh Abee sebagai pustaka dengan koleksi manuskrip Islam terbesar di Asia Tenggara.
Koleksi itu mencakup tafsir, hadis, fiqh, sejarah, hingga ilmu politik yang pernah menjadi rujukan ulama-ulama besar Aceh dalam memimpin perlawanan terhadap penjajah.
Sejarah mencatat, keberadaan perpustakaan ini tidak terlepas dari pendirian dayah yang dibangun oleh seorang ulama asal Baghdad, Fairus Al-Bagdadi, yang datang ke Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Dayah Tanoh Abee kemudian menjadi salah satu institusi penting di Asia Tenggara, sekaligus model intelektual dalam perlawanan terhadap kolonial Belanda.
“Dari literatur yang ada, manuskrip Tanoh Abee bukan hanya catatan keagamaan, tetapi juga warisan ilmu pengetahuan yang dulu menjadi dasar pembangunan Aceh. Kalau hari ini kita ingin membangun Aceh yang maju dan sejahtera, seharusnya ada keseriusan untuk mengkaji isi manuskrip itu,” jelas Teuku Abulis Samarkhan.
Lebih jauh, Abulis menilai bahwa pemerintah Aceh perlu melakukan langkah konkret, bukan hanya sebatas menjadikan Tanoh Abee sebagai ikon sejarah. Ia berharap adanya kajian ilmiah dan penelitian mendalam terhadap isi manuskrip-manuskrip tersebut.
“Kajian yang serius bisa menjadi landasan dasar pembangunan Aceh dan Aceh Besar ke depan. Seperti dulu Aceh berjaya karena ilmunya, hari ini pun kita bisa bangkit dengan kembali menimba hikmah dari warisan ulama kita,” tambahnya.
Kini, Perpustakaan Tanoh Abee yang berlokasi di Desa Tanoh Abee, Kecamatan Seulimuem, Aceh Besar, sering dikunjungi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Namun, kondisi pustaka yang sebagian besar masih tersimpan secara tradisional membuatnya rentan rusak.
Abulis menekankan, penyelamatan manuskrip kuno ini tidak bisa hanya dibebankan kepada keluarga pewaris zawiyah, melainkan butuh dukungan semua pihak, baik akademisi, masyarakat, maupun pemerintah.
“Kalau kita serius menjaga, maka Tanoh Abee tidak hanya menjadi kebanggaan Aceh, tetapi juga akan diakui dunia sebagai pusat peradaban Islam yang masih hidup hingga sekarang,” pungkasnya.
Sementara itu, Pewaris sekaligus pimpinan Zawiyah Tanoh Abee, Cut Fid atau Teungku Abdul Hafidz Al Fairusy Al Baghdady, mendorong agar pemerintah Aceh maupun pemerintah pusat segera memberikan pengakuan penuh terhadap jasa besar ulama Tanoh Abee.
“Teungku Chik Tanoh Abee bukan hanya pahlawan Aceh di prang sabi, tetapi juga pahlawan nasional dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sudah saatnya negara menghargai dan mengakui beliau secara resmi,” tegas Cut Fid, Senin (25/8).
Ia juga menegaskan pentingnya melestarikan Pustaka Tanoh Abee, pusat keilmuan Islam yang memiliki sejarah panjang dan berjasa besar bagi perkembangan intelektual Islam di Nusantara.
“Zawiyah dan Pustaka Tanoh Abee adalah warisan peradaban yang wajib dijaga, karena di sanalah ilmu dan perjuangan Islam bertumbuh untuk Aceh dan Indonesia,” ujarnya.
Cut Fid menambahkan, pengakuan juga perlu diberikan kepada generasi penerus ulama besar Tanoh Abee, yakni Shaikh Abdul Wahab Al Fairusy Al Baghdady (generasi ke-6), Teungku Chik Muhammad Said Al Fairusy Al Baghdady (generasi ke-7), dan Teungku Chik Muhammad Ali Al Fairusy Al Baghdady (generasi ke-8).
“Sudah saatnya kita menghormati dan mengakui jasa para ulama besar ini, agar sejarah tidak hilang ditelan zaman,” pungkasnya. [nh]