Sabtu, 20 Desember 2025
Beranda / Berita / Aceh / Pusat Studi Lingkungan Nasional Minta Negara Tetapkan Bencana Sumatera Berstatus Nasional

Pusat Studi Lingkungan Nasional Minta Negara Tetapkan Bencana Sumatera Berstatus Nasional

Jum`at, 19 Desember 2025 07:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Forum Diskusi dan Webinar Nasional “Merajut Resiliensi dari Sumatera untuk Nusantara” yang digelar BKPSL pada 17 Desember 2025. Foto: for Dialeksis 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan (BKPSL) se-Indonesia, organisasi jejaring yang menghimpun Pusat Studi Lingkungan (PSL) dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, mendesak pemerintah menetapkan banjir dan longsor yang meluas di Sumatera sebagai bencana nasional

Desakan ini disampaikan menyusul besarnya dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan akibat bencana hidrometeorologis yang terjadi pada akhir November 2025.

Seruan tersebut mengemuka dalam Forum Diskusi dan Webinar Nasional “Merajut Resiliensi dari Sumatera untuk Nusantara” yang digelar BKPSL pada 17 Desember 2025.

Anggota Komisi Kerja Bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat BKPSL, Dr. Edwarsyah, S.P., M.P., menegaskan bahwa skala bencana di Sumatera telah melampaui kapasitas penanganan darurat biasa.

“Bencana hidrometeorologis yang melanda berbagai wilayah di Sumatera merupakan kejadian yang sangat serius dengan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang luas,” ujar Edwarsyah yang juga Ketua Pusat Penelitian Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (PPLH-SDA) Universitas Teuku Umar Meulaboh, dalam keterangannya, Kamis, 18 Desember 2025. 

Menurut BKPSL, banjir dan longsor dipicu oleh kombinasi faktor alam dan antropogenik. Faktor alam meliputi curah hujan ekstrem, kerentanan geologis, serta perubahan pola hidrometeorologis akibat perubahan iklim. Sementara faktor manusia berkaitan erat dengan alih fungsi lahan, deforestasi, degradasi ekosistem hutan, serta kerusakan daerah aliran sungai (DAS), terutama di wilayah hulu.

“Perubahan fungsi hutan menjadi perkebunan monokultur telah mengurangi kemampuan hutan dalam menahan dan mengatur aliran air,” kata Edwarsyah.

“Vegetasi dengan sistem perakaran yang tidak sesuai juga memperburuk erosi dan meningkatkan kerentanan terhadap banjir serta longsor.”

BKPSL juga menyoroti dampak badai Senyar yang disebut sebagai konsekuensi perubahan iklim dan memperluas wilayah terdampak bencana. Kondisi tersebut dinilai membuat penanganan dan pemulihan membutuhkan langkah yang lebih menyeluruh serta terkoordinasi lintas sektor.

Dalam hasil diskusi nasional itu, BKPSL mencatat sejumlah wilayah terdampak, terutama di kawasan pegunungan, masih terisolasi hingga kini. Terputusnya jalan dan jembatan, serta minimnya alat berat untuk membuka akses, menghambat distribusi bantuan dan penanganan darurat.

“Bantuan tidak dapat segera disalurkan karena akses darat belum terbuka,” ujar Edwarsyah.

BKPSL mengakui pemerintah daerah dan pusat telah melakukan berbagai upaya penanganan. Namun, menurut mereka, upaya tersebut belum mampu sepenuhnya menjawab skala dan kedalaman kerusakan yang terjadi.

Kerusakan infrastruktur dan terganggunya kehidupan sosial ekonomi masyarakat disebut membutuhkan sumber daya yang sangat besar untuk pemulihan. BKPSL bahkan menilai dampak bencana ini membuat kondisi infrastruktur Sumatera mundur hingga dua dekade.

“Masifnya kerusakan menyebabkan infrastruktur di Sumatera mundur sekitar 20 tahun. Karena itu, penanganan tidak bisa lagi bersifat parsial,” kata Edwarsyah.

Atas dasar tersebut, BKPSL mendorong penetapan status bencana nasional guna mempercepat mobilisasi sumber daya, memperkuat koordinasi lintas sektor, serta memastikan penanganan yang lebih efektif.

Untuk tahap pemulihan, BKPSL menekankan pentingnya strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang terintegrasi. 

Proses rekonstruksi didorong menerapkan prinsip Build Back Better, dengan memastikan infrastruktur sipil--terutama transportasi--dibangun kembali lebih kuat dan adaptif terhadap risiko bencana.

Selain itu, BKPSL menegaskan perlunya kedisiplinan dalam penerapan standar bangunan dan tata ruang permukiman, perlindungan kawasan tangkapan air, serta pemulihan kawasan lindung yang memiliki fungsi ekologis vital.

“Pemulihan lingkungan berbasis alam sangat diperlukan dan harus melibatkan masyarakat secara luas. Rehabilitasi hutan dan DAS yang terdegradasi tidak bisa ditunda,” tegas Edwarsyah.

BKPSL berharap bencana hidrometeorologis di Sumatera pada akhir 2025 menjadi pelajaran nasional untuk memperbaiki tata kelola sumber daya alam, lingkungan, serta kebijakan pembangunan infrastruktur, sosial, dan ekonomi di masa depan.[]

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
pema