DIALEKSIS.COM | Idi Rayeuk - Aktivitas kapal-kapal yang menggunakan pukat trawl atau jaring harimau kembali marak di perairan timur Aceh, khususnya di kawasan Selat Malaka yang meliputi pesisir Aceh Timur dan Kota Langsa.
Yayasan Konservasi Alam Timur Aceh (YAKATA) mendesak pemerintah pusat melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) agar segera mengambil tindakan tegas.
Ketua Pengurus YAKATA, Zamzami Ali menyatakan bahwa dalam beberapa pekan terakhir nelayan lokal melaporkan keberadaan belasan kapal yang menggunakan alat tangkap terlarang tersebut di perairan Aceh Timur.
Ia menegaskan, praktik ini tidak hanya melanggar hukum, tapi juga sangat merusak keseimbangan ekosistem laut.
“Pukat trawl atau yang lebih dikenal dengan pukat harimau, secara teknis menyeret jaring besar yang menyapu seluruh biota laut tanpa pandang bulu ikan kecil, udang, hingga terumbu karang hancur seketika. Ini bukan hanya ilegal, tapi tindakan perusakan lingkungan yang sistematis,” tegas Zamzami kepada Dialeksis.com, Selasa (15/7/2025).
Menurutnya, efek dari praktik tersebut telah mulai terasa oleh nelayan tradisional. Ketersediaan ikan di perairan pesisir kian menipis, memaksa nelayan kecil berlayar lebih jauh ke tengah laut, bahkan hingga ke perairan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Myanmar, dan India.
“Tak sedikit nelayan kita yang ditangkap karena melintasi batas wilayah. Ini bukan salah mereka sepenuhnya, tapi karena ekosistem di wilayah kita sudah dikuras habis oleh para pelaku illegal fishing,” lanjutnya.
YAKATA menyoroti bahwa penggunaan pukat trawl tidak hanya mengancam populasi ikan, tapi juga berdampak pada keberlangsungan spesies laut yang rentan punah. Kerusakan habitat dasar laut yang ditimbulkan berdampak jangka panjang terhadap siklus regenerasi biota laut.
Zamzami menyebut, jika kondisi ini terus dibiarkan, perairan timur Aceh akan mengalami kehancuran ekologi yang sulit dipulihkan.
“Kita sedang menyaksikan kemunduran besar dalam keberlanjutan laut. Pemerintah seharusnya tidak tinggal diam melihat pelanggaran ini terus berulang,” katanya.
Dalam seruannya, YAKATA meminta Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen PSDKP) di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk melakukan patroli aktif dan konsisten di wilayah perairan Aceh. Penindakan terhadap kapal-kapal yang masih menggunakan pukat trawl harus dilakukan tanpa pandang bulu.
“Kami tidak ingin hanya ada janji di atas kertas. Kami ingin melihat kapal-kapal ilegal itu ditangkap, alat tangkapnya disita, dan pelakunya diproses hukum sebagaimana mestinya,” ujar Zamzami.
YAKATA juga mengatakan bahwa ancaman ini bukan hanya soal lingkungan semata, tetapi juga menyangkut keberlangsungan hidup masyarakat pesisir. Jika ikan-ikan kecil terus ikut terjaring dan populasi menurun, maka masyarakat akan kehilangan mata pencaharian dan ketahanan pangan laut nasional pun akan terganggu.
“Kami percaya bahwa kelautan adalah masa depan bangsa. Tapi jika tidak kita jaga sekarang, kita akan kehilangan semuanya dalam satu dekade ke depan,” tegasnya.
YAKATA berharap pemerintah daerah dan pusat dapat bersinergi, termasuk melibatkan aparat penegak hukum dan TNI AL dalam pengawasan laut. Lebih dari itu, perlindungan terhadap nelayan tradisional juga harus diperkuat agar mereka tidak menjadi korban dari konflik perebutan ruang tangkap oleh para pelaku kejahatan laut berskala besar.
Zamzami Ali berharap agar Aceh tidak hanya dikenal sebagai daerah kaya hasil laut, tapi juga sebagai wilayah yang tegas menjaga kelestarian lautnya.
“Kita butuh laut yang adil, bukan hanya laut yang kaya,” pungkasnya. [nh]