kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / PT PBM Jangan Keras Kepala, Pemerintah Beuk Teunget

PT PBM Jangan Keras Kepala, Pemerintah Beuk Teunget

Jum`at, 19 November 2021 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Lokasi Tambang PT PBM di KAWAY XVI. [Foto: IST]


DIALEKSIS.COM |  Meulaboh - Gerakan Anti Korupsi (GeRAK Aceh Barat) melalui koordinatornya, Edy Syah Putra menyesali dan mengecam atas aktifitas angkut mobil truck batubara milik PT. Prima Bara Mahadana (PBM) yang berada di Kecamatan Kaway XVI, Kabupaten Aceh Barat menuju Pelabuhan Calang, Kabupaten Aceh Jaya

Dalam keterangan tertulis yang diterima Dialeksis.com. Menurutnya, aktifitas tersebut berpotensi menimbulkan sejumlah pelanggaran aturan, terutama berkaitan dengan tambang dan juga hukum, serta timbulnya potensi konflik sosial dengan masyarakat yang berada dalam area perusahaan dan lintasan yang dilalui oleh truck tersebut.

Atas hal tersebut, tentunya pihaknya  menyayangkan dan berkesimpulan bahwa PT. PBM tidak peka dengan aturan yang berlaku, dan ia menduga ada pihak-pihak atau oknum tertentu yang memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan finansialnya saja. 

"Seharunya, mereka paham dan kemudian menyiapkan berbagai aturan terutama legalitas atas operasi produksi batubara tersebut," jelasnya.

Disisi lain, GeRAk juga menyesali dan menduga bahwa pemerintah baik ditingkat provinsi hingga kabupaten dan melalui dinas terkait seperti tidak mampu menegakan aturan yang berlaku. 

"Ada banyak aturan yang telah dilabrak atau diabaikan oleh manajemen PT. PBM dan para kroninya, dan atas itu kami menduga "Pemerintah Ka Teunget" atas berbagai persoalan dilapangan saat ini," katanya.  

Terbaru, seperti berbagai dokumen foto yang GeRAK dapatkan, bahwa pada hari Kamis, 18 November 2021, dari laporan yang didapatkan, diduga hampir 50 truck lebih telah melakukan aktifitas houling batubara dari Desa Batu Jaya SP3-Aceh Barat menuju Pelabuhan Calang, dengan tonase diatas 15 ton batubara. 

Bahkan dari informasi didapatkan di lapangan, diduga bahwa izin stockpile atau penumpukan batubara di Pelabuhan Calang belum dimiliki izin oleh PT. PBM. 

"Faktanya, sebagaimana dokumen yang kami dapatkan, perusahaan telah melakukan pembongkaran batubara dan penumpukan batubara dilokasi Pelabuhan calang, Aceh Jaya," ungkapnya. 

Tentunya ini sangat rancu, padahal telah jelas bahwa perizinan UKL-APL atau Amdal Stockpile dan juga izin pengolahan limbah cair yang sejatinya sudah dipersiapkan dari awal dan tidak lagi dalam proses pengurusan izin yang belum siap sedia. Ini merujuk kepada Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.23/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2018 tentang kriteria perubahan usaha dan/atau kegiatan dan tata cara perubahan izin lingkungan. 

Diketahui bahwa izin usaha stockpile mengacu kepada Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP-OP) yang meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan, maka bila tidak dilakukan, perusahaan tersebut jelas telah mengangkangi semua aturan tentang tambang. 

Dalam IUP-OP diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP 23/2010) sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012. 

Pasal 34 ayat (3) telah mengatur bahwa kegiatan pengolahan yang dilakukan tercakup dalam IUP-OP dan dasarnya ada empat syarat dalam pengajuan IUP-OP yakni, persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial. 

"Itu syarat utama dan bila dilanggar, maka kami menduga bahwa perusahaan tidak taat dan patuh kepada kaedah peraturan pertambangan yang baik," kata dia.

Selain itu, GeRAK juga menyoroti atas pemakaian fasilitas umum (Fasum) milik daerah serta jalan lintas yang dilewati, baik tingkat kabupaten hingga provinsi, serta desa yang terdampak dari aktifitas bongkar muat batubara.

Dari informasi yang ia dapatkan, bahwa sampai saat ini, jalan yang dipakai untuk angkut muatan batubara dengan truck yang berkapasitas 50 ton keatas tersebut, baik tingkat kabupaten dan provinsi diduga belum memiliki izin angkut dari dinas terkait. 

Bahkan, saat ini, Wakil Ketua I DPRK Aceh Barat (Ramli, SE) telah resmi membuat laporan kepada Polres Aceh Barat terkait aktifitas pengangkutan batubara oleh PT. PBM. 

Dari pelaporan tersebut, diketahui bahwa izin AMDAL milik PT. PBM telah kadaluarsa izinnya atau telah mati.

Bagaimanapun, aktifitas angkut batubara yang dilakukan oleh PT. PBM harus diketahui dan tercatat oleh pemerintah, terutama daerah penghasil, dikarenakan hal ini berkaitan dengan pendapatan yang akan diterima oleh daerah, yaitu tentang Dana Bagi Hasil-DBH, ini untuk memastikan jumlah produksi dan hasil penjualan yang dilakukan oleh perusahaan benar-benar tercatat dan pemerintah daerah melalui dinas BPKD mengetahui berapa tonase yang dikeluarkan dan dijual keluar. 

Persoalan lainnya yang semestinya, PT. PBM seharusnya menyelesaikan proses ganti rugi tanah milik masyarakat yang berada dalam IUP PT PBM, dan ini sepatutnya diselesaikan dari awal sebelum proses Garapan tanah dilakukan oleh perusahaan. Bila tidak, maka yang dirugikan adalah masyarakat dikarenakan hak-haknya telah dirampas. 

Bagaimanapun, pemerintah daerah wajib hadir dan menurut hemat kami, seharusnya pemerintah daerah memberikan warning kepada perusahaan agar segera mengirimkan surat untuk menghentikan aktifitas angkut atau proses penggalian tambang batubara di tanah masyarakat yang belum di ganti rugi.

Proses lainnya yaitu tentang rencana reklamasi dan paska tambang beserta jaminannya sebagaimana diatur dalam PP 78 Tahun 2010 tentang reklamasi dan paska tambang, adapun sanksinya peringatan tertulis, Penghentian Sementara, dan/atau pencabutan IUP, atas hal ini kami mempertanyakan apakah jaminan reklamasi dan paska tambang sudah dilakukan penyetoran oleh perusahaan. 

Selain aturan tersebut, kami menilai, perusahaan juga telah mengangkangi keputusan Bupati Aceh Barat Nomor 268 Tahun 2011 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Penambangan Batubara PBM di Kabupaten Aceh Barat, dimana dalam Pasal 2 ayat (6). 

Bahkan yang PT. Prima Bara Mahadana berdasarkan hasil supervisi tim koordinasi KPK-RI menemukan bukti bahwa perusahaan ini tidak membayar kewajiban sebagaimana aturan UU dan diduga telah menunggak pembayaran PNBP sektor pertambangan mineral dan batubara sebesar Rp 267.000.000. Atas dasar itu kami mempertanyakan realisasi ini.

Artinya, GeRAK mengingatkan bahwa perusahaan harus taat, patuh, dan memperdomani kepada aturan yang berlaku di republik ini, seperti Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1827K/30/MEM/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Kaidah Teknik Pertambangan Yang Baik dan jangan menjadi perusahaan yang "abal-abal!"

Terakhir, mereka juga mempertanyakan kepada DPMPTSP tentang izin milik PT PBM dimana berdasarkan surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Nomor: 545/DPMPTSP/2102/IUP-OP/2017 Tentang Perubahan Atas keputusan Bupati Aceh Barat Nomor 190 Tahun 2012 Tentang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi, memliki luas area 2.024 Ha. 

Namun adapun status IUP terdaftar Minerba (data per Mei 2019) dan juga data MODI perizinan, masih tertera keputusan Bupati Aceh Barat Nomor 190 Tahun 2012 dengan tahapan kegiatan adalah Operasi Produksi, dengan kode WIUP 3111053032014004 dan tahapan CNC adalah CNC-9.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda