DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala (FK USK) Banda Aceh menggelar aksi pada Selasa, 20 Mei 2025, sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI yang dinilai mengintervensi ranah pendidikan kedokteran.
Aksi yang diikuti oleh mahasiswa, dosen, hingga dekanat ini berlangsung di halaman kampus FK USK. Mereka menuntut agar pendidikan kedokteran tetap dikelola Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan tidak dicampuri oleh kebijakan Kemenkes yang dianggap melemahkan demokrasi akademik.
Koordinator lapangan aksi, Prof. Kurnia Fitri Jamil, menyatakan bahwa pendidikan kedokteran seharusnya tetap berlandaskan pada tiga pilar utama: universitas sebagai penyelenggara pendidikan, rumah sakit pendidikan sebagai wahana praktik, dan kolegium sebagai lembaga independen yang bertanggung jawab atas kurikulum.
“Kami ingin kembali ke tujuan awal. Pendidikan kedokteran harus berdiri di atas fondasi yang kuat dan bebas dari intervensi. Tidak boleh ada campur tangan dalam hal akademik, terutama dalam hal penyusunan kurikulum oleh kolegium,” ujar Prof. Kurnia.
Ia juga menekankan pentingnya menjaga kemandirian kolegium pendidikan kedokteran. Menurutnya, kolegium bukanlah bagian dari kementerian mana pun, melainkan lembaga independen yang memiliki dasar hukum untuk merancang kurikulum yang bermutu bagi calon dokter.
“Kami menolak adanya upaya Kemenkes membentuk kolegium-kolegium di bawah kendali mereka. Itu tidak perlu dan justru merusak independensi pendidikan kedokteran yang selama ini berjalan baik,” tegasnya.
Lebih lanjut, pihaknya mendesak agar pengelolaan pendidikan kedokteran dikembalikan sepenuhnya ke Kemendikbudristek, bukan berada di bawah koordinasi Kemenkes.
“Fungsi Kemenkes seharusnya lebih fokus pada aspek pelayanan kesehatan masyarakat, bukan mencampuri urusan pendidikan. Biarlah lulusan dokter yang telah disiapkan oleh Kemendikbudristek dimanfaatkan oleh Kemenkes sebagai tenaga pelayanan,” tambahnya.
Aksi ini menjadi bagian dari gerakan nasional yang dilakukan sejumlah fakultas kedokteran di Indonesia, sebagai respons terhadap dinamika kebijakan terbaru dari Kemenkes yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip otonomi dan demokrasi akademik.