Prof Eka: AI Harus Jadi Alat, Bukan Penguasa Manusia
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Direktur Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Prof. Eka Sri Mulyani, Ph.D. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Direktur Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Prof. Eka Sri Mulyani, Ph.D, menyampaikan pandangan mendalam mengenai peran dan batasan kecerdasan buatan (AI) dalam kehidupan manusia.
Dalam paparannya, Prof. Eka menyoroti bahwa AI, meskipun canggih, tidak mampu menggantikan nilai-nilai mendasar yang melekat pada manusia seperti empati, etika, dan kebijaksanaan.
Hal ini disampaikan saat pembukaan Seminar Nasional: Media Masa Depan Bersama Artificial Intelligence (Al) yang diselenggarakan oleh UIN Ar-Raniry Banda Aceh bekerjasama dengan Aliansi Jurnalis Iindependen (AJI) Indonesia - Aceh.
"Kemurusan, kebenaran, dan kebijaksanaan adalah wilayah yang tidak dapat diselesaikan oleh mesin atau robot. Di situlah pentingnya kehadiran kita sebagai manusia yang menguasai teknologi," jelasnya.
Beliau menegaskan bahwa AI harus ditempatkan sebagai alat untuk mendukung kemajuan, bukan menggantikan fungsi kemanusiaan.
"AI tidak memiliki sensitivitas untuk memahami konteks budaya, tradisi, atau nilai-nilai lokal. Maka dari itu, pendidikan menjadi kunci penting untuk membekali masyarakat agar menjadi pengguna teknologi yang bijak dan bertanggung jawab," tambahnya.
Prof. Eka juga membagikan pengalaman pribadinya dalam menggunakan AI untuk tugas akademik. Ia mengakui bahwa AI sangat membantu dalam menyusun literature review dan mendukung proses penelitian. Namun, ia menekankan bahwa AI tidak dapat sepenuhnya menggantikan peran manusia.
"Ketika saya mencoba mengambil hasil mentah dari AI, hasilnya seringkali tidak relevan. Sebagai peneliti, saya harus memberikan sentuhan manusia, kebijaksanaan dan sensitivitas untuk membuatnya relevan," katanya.
Ia bahkan berbagi kisah unik tentang bagaimana AI bisa menjadi teman curhat. "Seorang teman saya berbicara dengan AI tentang masalah pribadinya, dan AI menyimpulkan bahwa dia sedang frustrasi. AI bahkan mengatakan 'Alhamdulillah' setelah temannya merasa lebih baik. Ini menarik, tetapi tetap tidak dapat menggantikan empati manusia yang sejati," ujarnya.
Dalam seminar ini, Prof. Eka juga menekankan pentingnya kolaborasi antara akademisi dan praktisi untuk memahami dampak AI secara lebih luas.
"Kolaborasi ini penting untuk menjawab perubahan-perubahan yang terjadi begitu cepat. Media, sebagai cerminan masyarakat, juga harus berperan memastikan bahwa AI digunakan untuk memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, bukan sekadar mengejar kemajuan teknologi," pungkasnya. [nh]