DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Penetapan Ermiadi Abdul Rahman sebagai Komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menuai polemik setelah muncul indikasi pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2022 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN, serta PP Nomor 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Kedua regulasi tersebut secara tegas melarang pengurus BUMN merangkap jabatan di partai politik atau sebagai anggota legislatif dan eksekutif daerah.
Berdasarkan penelusuran Dialeksis, SK Nomor 120/KPTS-DPP/B/PA/III/2025 yang ditandatangani oleh Muzakir Manaf dan Zulfadhli pada 2 Maret 2025 menyatakan pemberhentian Ermiadi dari struktur pengurus dan kader Partai Aceh.
Namun, data terbaru Kementerian Hukum dan HAM Kantor Wilayah Aceh melalui Keputusan Nomor W1 - 82.AH.11.01 Tahun 2025 tertanggal 30 April 2025 masih mencantumkan Ermiadi sebagai Wakil Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Partai Aceh.
Praktisi hukum dan pengacara senior, Kasibun Daulay, SH, menegaskan bahwa status ganda Ermiadi berpotensi menyeretnya ke ranah pidana.
"Jika Ermiadi tetap dilantik, ini jelas bermasalah secara hukum karena syarat clean and clear dari sisi kepemilikan jabatan di partai politik belum terpenuhi. PP 23/2022 dan PP 54/2017 sudah sangat eksplisit melarang hal ini," ujar kepada Dialeksis, Senin (05/05/2025).
Kasibun juga memperingatkan risiko penyimpangan anggaran jika Ermiadi menggunakan dana PT PEMA (perusahaan BUMN/BUMD terkait) ketika dilantik serta selama menjabat.
"Penggunaan anggaran untuk kepentingan yang melanggar aturan bisa masuk delik penyalahgunaan wewenang atau korupsi. Ada dua opsi: uang tersebut harus dikembalikan sepenuhnya, atau kasus ini akan berakhir di meja pengadilan," tegasnya.
Menurutnya, dualisme dokumen antara SK Partai Aceh dan data Kemenkumham Aceh memperkuat indikasi disharmoni administrasi.
"Ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan potensi pelanggaran hukum yang sistematis. Pemerintah harus segera klarifikasi untuk mencegah dampak hukum yang lebih luas," tambah Kasibun.
Kasibun Daulay menegaskan bahwa konflik status Ermiadi Abdul Rahman mencerminkan lemahnya pengawasan lintas instansi.
"Ini menunjukkan celah koordinasi antara partai politik, Kementerian Hukum dan HAM, serta PT PEMA secara perusahan profesional dan berintegritas. Seharusnya ada real - time verification sebelum seseorang dilantik di pos strategis seperti komisaris BUMD," ujarnya.
Ia juga menyoroti potensi konflik kepentingan yang sistemik. "Jika Ermiadi tetap memegang jabatan di Partai Aceh sambil menjadi komisaris, kebijakan BUMD terkait bisa diarahkan untuk kepentingan politik tertentu. Ini melanggar prinsip independency dan netralitas BUMN sebagai entitas bisnis," tegas Kasibun pengacara terkenal.
Tak hanya itu, ia mengingatkan risiko reputasi bagi pemerintah. "Polemik ini bisa menjadi preseden buruk jika tidak ditangani tegas, bahkan akan terulang dikemudian hari. Investor akan ragu menaruh kepercayaan pada PT PEMA sebagai BUMD yang pengurusnya terlibat dualisme jabatan ilegal. Ini merugikan negara dalam jangka panjang," tandasnya.
Terakhir dikomentar, Kasibun menekankan pentingnya menjaga kelembagaan PT PEMA agar tetap berada di jalur profesional, integritas, dan bebas politik.
"Muzakir Manaf selaku gubernur Aceh perlu mengkaji ulang mumpung belum dilantik Ermiadi sebagai komisaris. Jangan sampai ada ruang bagi oknum untuk bermain di dua kaki sambil mengorbankan tata kelola perusahaan," pungkas pria terkenal tangani kasus besar ini.