Beranda / Berita / Aceh / Polresta Banda Aceh Dituding Lakukan Penyiksaan Terhadap Demonstran Selama Penahanan

Polresta Banda Aceh Dituding Lakukan Penyiksaan Terhadap Demonstran Selama Penahanan

Sabtu, 07 September 2024 21:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi
Kolase foto terkait peristiwa demonstrasi 29 Agustus 2024. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat (SMuR) Lhokseumawe, Rizal Bahari, mengecam keras tindakan represif yang diduga dilakukan oleh aparat Polresta Banda Aceh terhadap sejumlah mahasiswa yang ditahan selama aksi demonstrasi pada 29 Agustus 2024. 

Dalam aksi tersebut, mahasiswa menuntut penghentian segala bentuk kekerasan aparat terhadap massa aksi serta meminta kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) Aceh di depan Gedung DPRA.

Menurut Rizal Bahari, tindakan yang dilakukan Polresta Banda Aceh telah melanggar Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Peraturan Kapolri tentang prosedur penangkapan dan penahanan. 

"Polisi seharusnya tidak boleh melakukan kekerasan, apalagi penyiksaan, kepada siapapun yang ditahan, terlebih lagi kepada mereka yang memperjuangkan hak-hak rakyat," ujar Rizal kepada Dialeksis.com, Sabtu (7/9/2024).

Rizal menuding bahwa Polresta Banda Aceh telah melakukan pelanggaran serius dengan menangkap dan menahan 16 mahasiswa yang terlibat dalam aksi tersebut. Walaupun polisi mengklaim bahwa para mahasiswa tidak ditahan, melainkan hanya diperiksa, Rizal membantah pernyataan ini. 

"Mereka memang dibebaskan, tetapi di hari-hari yang berbeda, mulai Sabtu sore hingga Minggu malam. Ini bukan sekadar pemeriksaan, melainkan penahanan tanpa dasar hukum yang jelas," tegasnya.

Yang lebih memprihatinkan, lanjut Rizal, para mahasiswa yang ditahan mengaku mengalami penyiksaan fisik dan psikologis selama penahanan. 

Beberapa mahasiswa dilaporkan mengalami kekerasan fisik, seperti ditampar, ditendang, dijambak, bahkan kepala mereka dibenturkan ke dinding. 

Salah satu mahasiswa juga mengungkapkan bahwa pistol dan pisau diarahkan ke mulutnya sebagai bentuk intimidasi.

"Salah seorang korban bahkan mengalami pembekuan darah di kepala akibat kekerasan yang dialaminya. Ini adalah pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia," kata Rizal. 

Ia juga menambahkan bahwa para mahasiswa tidak diberikan akses kepada pengacara selama proses pemeriksaan, yang merupakan pelanggaran hak mereka berdasarkan KUHAP.

Selain itu, Rizal mengungkapkan bahwa beberapa mahasiswa dipaksa menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tanpa diberi kesempatan untuk membacanya terlebih dahulu.

“Dalam BAP itu, mereka dipaksa mengakui bahwa tidak ada kekerasan yang dilakukan selama pemeriksaan, padahal kenyataannya sangat berbeda,” jelasnya.

Rizal menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh Polresta Banda Aceh bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga melanggar peraturan internal kepolisian itu sendiri. 

Dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009, disebutkan bahwa aparat kepolisian tidak boleh melakukan kekerasan, bahkan dalam situasi kerusuhan massa sekalipun.

“Kekerasan brutal yang dilakukan oleh aparat kepolisian selama penahanan mahasiswa aksi ini adalah bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Ini adalah tindakan yang tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga mencoreng nama baik institusi kepolisian itu sendiri,” ujar Rizal.

Ia menambahkan bahwa aksi represif ini hanya akan memperburuk situasi dan merusak hubungan antara masyarakat dan aparat penegak hukum. 

"Aceh pernah mengalami trauma konflik yang menewaskan puluhan ribu orang. Jika kekerasan seperti ini terus terjadi, maka bukan tidak mungkin akan muncul gelombang perlawanan yang lebih besar dari masyarakat Aceh," ujarnya.

Lebih jauh, Rizal Bahari menyoroti bahwa kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap demonstran bukanlah kejadian yang berdiri sendiri. 

Ia melihat bahwa tindakan tersebut merupakan bagian dari kebijakan sistematis yang bertujuan untuk meredam suara perlawanan rakyat. 

"Sepanjang pemerintahan ini, kekuatan berlebihan seringkali menjadi jawaban bagi segala bentuk protes rakyat. Ini adalah upaya untuk mempertahankan kekuasaan kelas penguasa yang sudah tidak mampu lagi menjamin kesejahteraan rakyat," ungkapnya.

Menurut Rizal, di tengah krisis ekonomi yang melanda Indonesia, pemerintah tampak lebih memilih memperkuat aparatur keamanan daripada mencari solusi bagi kesejahteraan masyarakat.

"Institusi seperti Polri tidak hanya diciptakan untuk menangani kejahatan, tetapi juga untuk menekan perjuangan rakyat yang memperjuangkan hak-hak mereka," tambahnya.

Rizal menegaskan bahwa SMuR Lhokseumawe dan kelompok-kelompok mahasiswa lainnya tidak akan mundur dalam menghadapi represifitas aparat. 

"Kami tidak akan pernah tunduk kepada rezim yang menindas. Sejarah membuktikan bahwa kemenangan selalu berada di tangan rakyat. Kami percaya, kekuatan rakyat sipil tidak akan bisa dibendung oleh kekerasan aparat," ucapnya.

Ia juga berharap agar masyarakat Aceh dapat bersatu dan menunjukkan solidaritas untuk melawan segala bentuk kekerasan dan penindasan. 

"Aceh telah melalui masa-masa kelam selama konflik, dan kami tidak ingin hal itu terulang lagi. Tapi, jika kekerasan terus dilakukan oleh pihak berwenang, maka tidak menutup kemungkinan perlawanan massal akan terjadi lagi," pungkas Rizal. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda