kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Polisi Virtual Bagus, Tapi UU ITE Tetap Harus Direvisi

Polisi Virtual Bagus, Tapi UU ITE Tetap Harus Direvisi

Sabtu, 27 Februari 2021 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Roni

Akademisi Jurusan Informatika Universitas Syiah Kuala, Irvanizam Zamanhuri. [IST]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Akademisi Jurusan Informatika Universitas Syiah Kuala, Irvanizam Zamanhuri mengatakan, pembentukan Polisi Virtual merupakan langkah permulaan yang bagus.

Terlebih menurutnya, lima langkah yang akan dilakukan oleh polisi dalam melaksanakan tugasnya sebagai polisi virtual, ini sudah sangat bijak.

Konsep polisi virtual bukan merupakan yang pertama di dunia. Di beberapa negara lain sudah menerapkan langkah ini, hanya saja nama yang berbeda. Misalnya negara China, Iran, dan Korea menyebutkannya dengan Cyber Police sedangkan negara Belanda, Kanada, dan UK menyebutkan dengan Internet Police.

Kedua instansi atau agensi ini perannya juga hampir sama seperti Polisi Virtual yaitu memastikan lingkungan virtual menjadi bersih, sehat, dan beretika.

"Saya melihat, salah satu tujuan dari Polisi Virtual ini adalah mengedukasi masyarakat untuk memanfaatkan internet secara bijak, berakhlak, bersih, dan beretika dengan mengingatkan juga kepada masyarakat untuk tidak menyebarkan, membuatkan, dan menyiarkan konten yang tidak bertanggungjawab dan berpotensi melanggar hukum," kata Irvanizam kepada Dialeksis.com, Sabtu (27/2/2021).

Selain itu, lanjutnya, langkah ini juga merupakan upaya pemerintah untuk mencegah masyarakat tidak terjerumus ke dalam kasus hukum. Menurut Irvanizam, langkah-langkahnya sudah tepat dan akan mengurangi kasus-kasus saling lapor.

"Dimulai dari mendeteksi konten-konten yang berpotensi melanggar hukum, kemudian mendengar pendapat para ahli, memperingatkan melalui pesan jalur pribadi, mengirimkan peringatan untuk dihapuskan konten, melakukan langkah keadilan restoratif melalui proses mediasi dan kekeluargaan," ujar Pakar Informatika USK itu.

Dengan langkah ini, lanjutnya, pihak-pihak yang memanfaatkan pasal-pasal yang multitafsir pada UU ITE akan menjadi berkurang.

"Akan tetapi, meskipun Polisi Virtual ini sudah mulai bekerja pada beberapa hari yang lalu, saya menyarankan UU ITE juga tetap direvisi terutama penjelasan tentang definisi pelapor, pasal-pasal multi-tafsir dan pasal penyebaran berita bohong (hoax)," ujar Irvanizam.

"Kembalikanlah tujuan awal dibentuknya UU ITE yaitu larangan berbuat kesalahan dengan memanfaatkan teknologi informasi (TI) untuk perjudian online, terorisme, pornografi, penipuan kartu kredit, pengancaman, dan akses sistem secara illegal," tambahnya.

Akademisi Informatika USK itu menyarankan, dalam mendeteksi dan/atau memutuskan konten-konten yang berpotensi melanggar hukum untuk menghadirkan atau melibatkan para pakar (pakat hukum, pakar bahasa, dan pakar TI) yang independen, baik dari kalangan akademisi atau praktisi.

Kemudian untuk ke depan, Polisi Virtual juga dapat memanfaatkan algoritma Kecerdasan Artifisial yang handal dan teknologi Big Data dan Data Mining untuk mendeteksi secara otomatis konten-konten yang berpotensi melanggar hukum untuk meminimalisasikan subjektivitas polisi ketika menilai konten-konten tersebut dan kemudian diingatkan kepada pemilik konten untuk dihapuskan.

"Selanjutnya, meningkatkan kerjasama secara intensif dengan perusahaan platform media sosial seperti Facebook, twitter, Instagram, dan media-media portal berita online untuk mendeteksi dan menertibkan akun-akun (terutama akun anonim) yang memanfaatkan akunnya untuk hal-hal yang tidak bertanggung-jawab seperti menyebar berita bohong (hoax), memprovokasi, dan melakukan bully," pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda