Minggu, 27 April 2025
Beranda / Berita / Aceh / Polemik Tim RPJM Aceh 2025-2029: Akademisi Soroti "Tim Gemuk" dan Efisiensi Anggaran

Polemik Tim RPJM Aceh 2025-2029: Akademisi Soroti "Tim Gemuk" dan Efisiensi Anggaran

Sabtu, 26 April 2025 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Firdaus Mirza Nusuary, akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Gubernur Muzakir Manaf dan Wakil Gubernur Fadhullah resmi membentuk tim penyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh2025 - 2029 melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor 600.1.2/713/2025 yang ditandatangani Rabu (23/4/2025). 

Namun, kebijakan ini langsung menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan, termasuk akademisi, lantaran komposisi tim yang dinilai terlalu "gemuk" dan berpotensi mengganggu efektivitas perencanaan pembangunan.

SK terbaru ini sekaligus membatalkan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 600.1.2/22/2025 yang sebelumnya diterbitkan Penjabat (Pj) Gubernur Aceh Safrizal pada 24 Januari 2025. Tim baru bertugas merancang arah pembangunan lima tahun ke depan, yang diharapkan menjadi peta jalan transformasi ekonomi, infrastruktur, dan kesejahteraan masyarakat Aceh.

Berdasarkan data historis, jumlah anggota tim RPJM Aceh kali ini disebut sebagai yang tertinggi sejak era kepemimpinan Mualem, bahkan melampaui masa Gubernur Irwandi Yusuf (2017 - 2021) dan Zaini Abdullah (2012 - 2017). Fenomena ini memantik kritik dari Firdaus Mirza Nusuary, akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala.

"Pembentukan tim yang terlalu besar terkesan hanya mengakomodasi kepentingan politik balas jasa. Di sisi lain, publik melihat ini tidak efektif, tidak efisien, dan bertolak belakang dengan kebijakan pusat yang mengedepankan penghematan anggaran," ujar Firdaus saat dikonfirmasi Dialeksis.com, Sabtu (26/4/2025).

Ia menjelaskan, semakin banyak anggota tim, semakin panjang rantai koordinasi dan komunikasi. Hal ini berisiko menimbulkan tumpang tindih tugas, ketidakjelasan output, hingga potensi kebocoran informasi strategis selama proses penyusunan RPJM. 

"Ujung-ujungnya, bisa terjadi double work: tim di dalam tim harus merumuskan ulang. Artinya, sebagian anggota hanya simbolis, tidak berkontribusi substantif," tegasnya.

Firdaus juga mengingatkan dampak finansial dari struktur tim yang membengkak. Setiap penambahan anggota berarti peningkatan biaya operasional, mulai dari rapat, konsumsi, hingga tunjangan. 

"Dana yang seharusnya dialokasikan untuk program prioritas, seperti kesehatan atau pendidikan, justru terkuras untuk birokrasi yang tidak produktif," paparnya.

Sebagai solusi, ia menyarankan agar tim dibatasi pada para ahli di bidang pembangunan, perwakilan kementerian/lembaga terkait, dan partai politik pengusung Gubernur Muzakir - Fadhullah. 

"Dengan tim yang kecil namun kompeten, perumusan RPJM akan lebih fokus, objektif, dan sesuai kebutuhan riil masyarakat," tambahnya.

Firdaus lanjut menyampaikan,"Pemerintah harus memastikan bahwa setiap langkah perencanaan transparan dan melibatkan partisipasi publik, bukan hanya kepentingan elit."

Sebagai penutup, Firdaus berpesan, efisiensi dan kualitas output harus jadi prioritas. J"ika tim bekerja optimal, RPJM bisa menjadi fondasi Aceh yang lebih maju dan sejahtera di bawah kepemimpinan Muzakir - Fadhullah," jelasnya. [ar]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI