Pertanyakan Hak Konstitusional Perempuan di UU Cipta Kerja, Himapol UIN Ar-Raniry Gelar Webinar
Font: Ukuran: - +
Tangkap layar webinar bertema Perempuan dalam UU Cipta Kerja. [IST]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (Himapol) UIN Ar-Raniry menyelenggarakan seminar web (webinar) dengan tema Perempuan dalam UU Cipta Kerja, Rabu (21/10/2020).
UU tersebut dianggap banyak menuai pro dan kontra dari masyarakat, baik dengan kritikan langsung maupun tidak langsung. Semangat Omnibus Law terutama UU Cipta Kerja adalah untuk menyederhanakan proses administrasi sehingga mendorong geliat investasi ekonomi, baik makro maupun mikro.
Hal menarik yang akan dibahas selain pro kontra secara umum adalah sejauh mana UU tersebut mengakomodir kepentingan perempuan sebagai warga negara. Dimana perempuan memiliki kondisi khusus.
Diskusi tersebut diisi oleh beberapa pemateri yang mewakili akademisi, legislatif, dan juga elemen masyarakat sipil. Diantaranta yaitu Nora Idah Nita, SE selaku Anggota Komisi V DPR Aceh, Dr.Rasyidah, M.Ag mewakili Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSUIA), Nursiti, SH, M.Hum mewakili Pusat Riset Gender Unsyiah serta Rizkika Lhena Darwin M.A akademisi Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry.
Dalam diskusi tersebut, Nora Idah Nita SE mengulas, UU Cipta Kerja sangat tidak berpihak pada buruh, terutama buruh Perempuan. Banyak pasal-pasal yang merugikan hak Buruh perempuan seperti cuti hamil, keguguran, dan lain-lain.
Selain itu, lanjutnya, karir pekerja perempuan terancam mandeg lantaran jam kerjanya dalam UU tersebut tidak sampai 8 jam per hari, ditambah waktu lembur maksimal yang bisa mencapai 4 jam per hari.
Pemateri selanjutnya, Dr Rasyidah M.Ag mengatakan terdapat peluang untuk perpanjangan jam kerja dan jam lembur dalam kesepakatan yang dibuat di kondisi relasi kuasa yang timpang antara pemberi kerja dan pekerja juga ditenggarai dapat menyebabkan perempuan pekerja dihadapkan dengan ketegangan baru di tengah tuntutan peran di dalam keluarga. Selama ini, penolakan pada lembur sering dianggap sebagai sikap melawan perintah kerja.
Kemudian pamateri lainnya, Nursiti SH M.Hum menjelaskan, tidak keseluruhan UU ini buruk. Karena terdapat beberapa inovasi seperti sistem perizinan berusaha secara elekttronik, RDTR dalam bentuk digital, basis data tunggal untuk UMK-M dan membentuk Badan Bank Tanah.
"Beberapa “inovasi” tersebut perlu diawasi pada tahapan implementasinya nanti. Namun UU ini juga memiliki beberapa catatan yang bisa kritisi untuk memaksimalkan fungsinya sebagai sebuah produk kebijakan. Dimana UU ini ingin mengatur terlalu banyak hal, namun UU ini buta gender. Sehingga subjek utama UU ini adalah Pemerintah Pusat dan Pemilik Usaha," jelasnya.
Terakhir ulasan dari akademisi Ilmu Politik FISIP UIN Ar Raniry, Rizkika Lhena Darwin M.A. Ia menjelaskan UU Cipta Kerja dan perempuan dari kerangka pikir SDGs. Dimana SDGs seharusnya menjamin keberlanjutan pembangunan yang mengedepankan pengarusutamaan gender.
"UU Cipta Kerja membuka peluang berdampak pada makin meningkatkan diskriminasi terhadap perempuan. Terutama pada penyederhanaan izin (dalam hal ini berkaitan dengan sumber daya alam) dan bidang ketenagakerjaan (menyangkut PKWT, PKWTT, alih daya, cuti, dan pemutusan hubungan kerja. Hal itu karena perempuan sangat berkaitan langsung dengan kondisi perempuan," jelasnya.
Diskusi ini diharapakan menjadi wadah bersama untuk menelaah UU Cipta Kerja dapat memberi catatan perbaikan. Karena kebijakan harus mempertimbangkan hak konsitusional perempuan sebagai warga negara, terutama buruh.