DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Rencana Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau Mualem untuk membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgassus) penertiban tambang ilegal mendapat sambutan positif dari Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) Aceh. Langkah itu dinilai tepat dan strategis untuk menegakkan aturan sekaligus menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Sekretaris Jenderal PERHAPI Aceh, Muhammad Hardi, ST, MT, mengatakan bahwa keberhasilan tim satgassus nantinya akan sangat ditentukan oleh tindak lanjut konkret dan tata kerja yang terukur.
Ia mengingatkan, penertiban tambang ilegal tidak bisa hanya berhenti pada penutupan lokasi atau penarikan alat berat.
“Satgassus yang dibentuk harus bekerja dengan basis data dan teknologi, bukan sekadar penertiban sesaat. Jika tidak, tambang ilegal akan muncul lagi di lokasi yang sama atau berpindah ke lokasi lain,” kata Hardi saat dimintai tanggapan media dialeksis.com, Rabu (1/10/2025).
Menurut Hardi, langkah pertama yang harus dilakukan adalah pemetaan detail area terdampak aktivitas tambang ilegal berbasis teknologi.
Data ini penting untuk menentukan prioritas penertiban, khususnya di titik-titik rawan seperti hutan lindung dan Kawasan Ekosistem Leuser yang sudah tercatat mengalami kerusakan ribuan hektar.
“Pemanfaatan citra satelit, drone, dan GIS bisa memberi gambaran detail area terdampak, sehingga kerusakan lingkungan dapat dipetakan secara presisi hingga ke level desa. Tanpa data akurat, kita hanya menebak-nebak skala kerusakan,” tegasnya.
Hardi menilai, Satgassus juga harus melibatkan pihak-pihak kompeten secara multidisiplin agar tidak kehilangan arah. Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) perlu menjadi leading sector, sementara instansi lain seperti Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK), aparat penegak hukum, inspektur tambang, akademisi, serta organisasi profesi harus dilibatkan secara aktif.
“Dinas ESDM Aceh perlu memimpin penuh Satgassus, sementara unsur lain harus ditempatkan sebagai mitra aktif. Tanpa kepemimpinan teknis dari sektor ESDM, Satgassus berisiko hanya menjadi reaktif, bukan solutif,” tambah Hardi.
Keterlibatan masyarakat sipil, termasuk organisasi lingkungan seperti WALHI, menurutnya juga krusial agar basis data lapangan lebih akurat, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Lebih jauh, Hardi menyebutkan bahwa penertiban tambang ilegal tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan pelarangan.
Pemerintah daerah juga wajib menyediakan jalur legal bagi penambang rakyat melalui skema Izin Pertambangan Rakyat (IPR), sebagaimana diatur dalam UU Minerba No. 3 Tahun 2020 dan PP 96/2021.
Dengan kewenangan khusus yang dimiliki Aceh berdasarkan UU 11/2006, menurut Hardi, penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) bisa segera diwujudkan. Setelah terbentuk, kelompok penambang rakyat pemegang IPR harus mendapat pembinaan agar memenuhi standar teknis, keselamatan kerja, serta kewajiban reklamasi.
“Kita tidak bisa hanya melarang. Negara, dalam hal ini pemerintah daerah, wajib memberi ruang legal bagi penambang rakyat agar mereka bisa bekerja dengan aman, memenuhi aturan, dan tetap menjaga kelestarian lingkungan,” jelas Hardi.
Hardi mengatakan, jika Satgassus bekerja dengan pendekatan berbasis data, melibatkan pihak-pihak kompeten, serta memberi solusi legal yang berkelanjutan, maka keberadaannya tidak hanya menjadi alat penertiban.
Lebih dari itu, Satgassus dapat menjadi motor transformasi tata kelola pertambangan di Aceh yang adil, aman, ramah lingkungan, serta mampu menekan kerugian negara.
“Yang terpenting, Satgassus harus menjamin keberlanjutan ekonomi masyarakat lokal di Aceh. Dengan begitu, kita tidak hanya menjaga lingkungan, tetapi juga memastikan rakyat mendapatkan manfaat secara langsung,” pungkas Hardi. [nh]