Pengamat: Pemerintah Harus Memberi Penjelasan Mengapa Angka Kemiskinan Aceh Naik
Font: Ukuran: - +
Reporter : Alfi Nora
Abdullah Abdul Muthaleb. [IST]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - BPS merilis penduduk miskin di Aceh meningkat 19 ribu orang pada September 2020. Secara persentase, angka kemiskinan di Serambi Mekah sebesar 15,43 persen atau tertinggi di Sumatera.
Pengamat Kebijakan Pembangunan, Abdullah Abdul Muthaleb, mempertanyakan alasan jumlah tersebut mengapa meningkat, apa karena konflik masa lalu, tsunami, Pandemi Covid-19, kemiskinan diantara mentalitas Birokrasi pemerintah Aceh.
Abdullah menjelaskan tiga poin tersebut yang sering dijadikan alasan pemerintah ketika ditanya mengapa kemiskinan di Aceh meningkat.
Pertama, sampai kapan konflik dan tsunami era tahun 2000-2004 jadi alasan pembenaran atas masalah kemiskinan akut yang dialami selama ini?
Benar jika itu masalah serius dan tidak semua provinsi di Indonesia mengalaminya, tetapi masihkah kedua hal tersebut relevan setelah hampir 20 tahun berlalu?
Kedua lanjutnya, benar dari sisi rata-rata kenaikan, angka kenaikan Aceh itu lebih rendah dari rata-rata nasional. Akan tetapi jangan lupa kalau total belanja Aceh setiap tahunnya juga fantastis bukan?
"Otsus hampir habis masanya. Mestinya dengan modal yang besar kita bisa bekerja lebih efektif untuk mengatasi kemiskinan. Pertanyaan apakah sudah efektifkah cara dibelanjakan dari APBA sejak Otsus ada," tanya Abdullah saat dihubungi Dialeksis.com, Sabtu (20/2/2021).
Ketiga, kalau alasannya karena Covid-19, yang berdampak pada besar perekonomian dan aktivitas masyarakat, bagaimana kemudian dengan pemanfaatan dana penanganan dampak Covid-19 yang dialokasikan mencapai 1,5 triliun tahun anggaran 2020?
"Dana yang diterima Aceh sangat besar tetapi serapan rendah bahkan untuk sektor kesehatan capaiannya terendah se Indonesia," ungkapnya.
Abdullah mengatakan, selama ini publik hanya melihat mobilisasi ASN sebarkan masker ke kabupaten kota dan pada akhir tahun lalu publik dikejutkan dengan pembagian dana ke ormas-ormas yang tidak ada relevansinya dengan pengurangan dampak Covid-19.
Ada apa dengan penggunaan dana Covid kita?
Terakhir, Abdullah menyarankan untuk 'pengkritik'. Ia sebagai seorang yang awam dengan ilmu komunikasi, kurang elok digunakan dalam merespon setiap wujud penggunaan hak konstitusional warga negara dalam menyalurkan aspirasinya. Apapun bentuk saluran itu termasuk aksi pengiriman sejumlah baliho tersebut.
"Menurut saya akan lebih elegan dan jika menyebutnya 'publik harus memahami' sehingga yang terbangun adalah komunikasi dua arah antara elite dan publik yang lebih sehat," pungkasnya.