Beranda / Berita / Aceh / Pengamat Jelaskan Opsi Regulasi Pengusulan Wakil Gubernur Aceh

Pengamat Jelaskan Opsi Regulasi Pengusulan Wakil Gubernur Aceh

Selasa, 05 Januari 2021 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Pengamat Politik dan Keamanan Aceh, Aryos Nivada. [IST]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pengamat Politik dan Keamanan Aceh, Aryos Nivada mengatakan bahwa tarik ulur proses pengusulan Wakil Gubernur Aceh tak lain disebabkan sejumlah hal. Pertama, ketidakjelasan regulasi terkait batasan maksimal pengusulan kekosongan jabatan. Kedua, multi tafsir regulasi terkait kapan mulai dihitungnya kekosongan jabatan.

Disatu sisi dalam baik Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada ) maupun UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) tidak terdapat norma hukum yang mengatur berapa lama batasan maksimal yang dibutuhkan untuk melakukan pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah dan mendapatkan wakil kepala daerah pengganti.

“Terjadi polemik memang tidak ada aturan tegas batas waktu maksimal pengajuan wakil kepala daerah yang perlu diperhatikan ialah bahwa Undang-Undang Pilkada memberikan suatu ketentuan yang jelas mengenai keharusan untuk dilaksanakannya pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah apabila jabatan tersebut masih memiliki sisa jabatan selama 18 (delapan belas) bulan lebih sejak kosongnya jabatan tersebut Sebagaimana diatur dalam Pasal 176 ayat (4),” jelas Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala ini kepada Dialeksis.com, Selasa (5/1/2021).

"Ketentuan serupa juga diatur dalam Hal Pasal 54 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Tapi tidak ada aturan yang mengatakan batasan maksimal yang dibutuhkan untuk melakukan pengisian kekosongan jabatan yang kosong tersebut. Ditambah lagi tidak terdapat norma hukum yang mengatur spesifik mengenai bagaimana mekanisme pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah di Indonesia yang menyebabkan menjadi rumitnya mekanisme pengisian jabatan wakil kepala daerah di Indonesia,” tambahnya.

Lebih lanjut, alumnus Universitas Gadjah Mada ini juga menguraikan problem multi tafsir regulasi terkait kapan mulai dihitungnya kekosongan jabatan. Mengenai kapan mulainya jabatan itu dianggap kosong memiliki dua sisi perspektif logika politik hukum. Khususnya apabila jabatan yang kosong karena tersandung kasus hukum.

Bila Acuannya pemberhentian oleh presiden melalui keputusan presiden (keppres), Presiden Joko Widodo secara resmi mencabut status Irwandi Yusuf sebagai Gubernur Aceh setelah yang kasusnya berkekuatan hukum tetap (inkracht). Kasasi irwandi tolak oleh Mahkamah Agung pada Februari Tahun 2020. Keppres Pemberhentian Irwandi tertuang dalam keputusan presiden (Keppres) nomor B-175/Kemensetneg/D-3/AN.00.01/07/2020.

Pasangan Irwandi Nova dilantik 5 Juli 2017 dalam Sidang Paripurna Istimewa DPR Aceh di Banda Aceh. Pasangan ini sedianya akan berakhir masa jabatannya pada 5 juli 2022. Pada Februari 2020 Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan Irwandi dalam perkara suap proyek yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) tahun 2018. Secara hukum Irwandi terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Masa jabatan Nova Iriansyah sendiri apabila dihitung pada agustus 2020 maka sisa jabatan pasangan Irwandi Nova adalah 24 bulan.

“Pertama, jika dipakai basis dasar kebijakan dengan menggunakan keppres maka hitungan kekosongan Wakil Gubernur Aceh dimulai dari terbitnya keppres pemberhentian Irwandi Yusuf yaitu agustus tahun 2020. Apabila sampai 5 Januari 2021 belum diusulkan calon wagub maka tidak dapat mengusulkan lagi sebab sudah kurang dari sisa masa jabatan. Di atas tanggal 5 Januari 2021 tidak ada dasar hukum untuk mengisi kekosongan tersebut,” jelas Aryos.

“Kemudian kedua, apabila kekosongan Wagub Aceh dihitung sejak tanggal pelantikan Nova sebagai Gubernur Aceh definitif yaitu 5 Oktober 2020, maka hitungannya jadi berbeda lagi. Jadi 5 April tahun 2021 batas akhir pengajuan Calon Gubernur Aceh,” tambahnya.

Namun menurut Aryos, secara hukum dasar kekosongan wagub Aceh lebih kuat apabila ditinjau dari basis keppres pemberhentian irwandi oleh Jokowi.

“Karena hal ini sesuai dengan UU Pilkada dan UUPA. Juga peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang menjadi dasar tatib DPRA. Jadi memang proses kekosongan wakil kepala daerah itu basis yang paling jelas adalah keppres. Sebab terhitung sejak keppres dikeluarkan. Posisi wakil Gubernur Aceh kosong secara hukum,” ujar Aryos.

Oleh karena itu, menurut Aryos, pengisian posisi Wagub Aceh ke depan sangat tergantung pada political will serta politik hukum baik oleh pemerintah pusat maupun Pemerintah Aceh.

“Yang paling penting sebenernya adalah koordinasi dengan pemerintah pusat. Jangan sampai nanti begitu proses pengisian Wagub terisi, lantas pusat tak kunjung melantik karena dianggap tidak sesuai dengan prosedur pengisian wakil kepala daerah. Ujung-ujungnya segala proses politik yang dilakukan sia sia belaka,” pungkas Aryos.

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda